Etika Berbicara Dengan Suami

Wanita shalihah senantiasa mampu menjaga pembicaraan di hadapan suaminya. Jangan sampai melalui pembicaraannya, ia mendapat murka Allah karena telah menyakiti hati suami. Memang kadangkala hal ini dilakukan karena dorongan emosi yang tidak terkontrol. '
 
Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Nabi saw. Diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang mengerjakan shalat Kusuf, terbayang di benak Rasulullah saw. surga dan neraka. Dalam neraka beliau melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita. Para sahabat ra. bertanya; Apa sebabnya? Rasulullah saw. menjawab, "Karena mereka tidak mengakui kebaikan dan tidak berterima kasih kepada suaminya. Yaitu kamu berbuat baik kepada istrimu sepanjang hayatmu, namun suatu ketika karena suatu hal sepele ia berkata, 'Tidak pernah aku mendapatkan kebaikan apapun darimu." (Muttafaqun Alaih).


Ya'la bin Munabbih r.a menceritakan, bahwa ada seorang suami yang datang menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan bahwa setiap suaminya datang, maka istri yang shalihah menyambutnya dengan kata-kata, "Selamat datang tuan pemilik rumah. Jika kehendakmu untuk akhiratmu, semoga Allah meningkatkan dengan |kemauanmu itu. Dan jika kehendakmu itu untuk duniamu, semoga Allah akan memberimu rezeki dan merestuimu." Mendengar penuturan orang tersebut, Rasulullah saw. bersabda, "Untuk istrimu itu pahala separuh orang yang berjuang di jalan Allah. Dialah pekerja di bawah pimpinan Allah."
Putri Sa'id bin Musayyab rah.a. yang terkenal dengan keshalihannya telah memberikan pelajaran kepada para istri bagaimana seharusnya berlaku di hadapan suami, ia berkata, Tidaklah kami berbicara kepada suami kami, kecuali seperti kalian berbicara kepada raja-raja kalian." (Ahkamun Nisa).

Syaikh Zakariyya rah.a. mengulas hal ini, dan berkata, "Dengan riwayat-riwayat ini, dapat dipahami penyebab mengapa kebanyakan wanita masuk neraka. Dalam hadits mengenai Hari Raya, diceritakan bahwa setelah mendengar nasehat Rasulullah saw., semua kaum wanita telah membuka perhiasan emas dan perak dari telinga dan leher mereka, lalu diletakkan dalam kain Bilal ra. yang bertugas mengumpulkan sedekah pada masa itu."

Dikutip oleh Syaikh Ahmad Husin dalam buku 'Az-Mar'atuz Muszimat amamat Tahdiyaat', bahwa suatu ketika Asy-Sya'bi bertanya kepada Syuraih Al Qadhi tentang rumah tangga. Syuraih berkata, "Selama dua puluh tahun, aku belum pernah melihat sesuatu dari istriku yang membuatku kesal. Sejak malam pertama aku bertemu dengan istriku, ternyata ia demikian cantik, tiada bandingnya. Ketika aku melaksanakan dua rakaat shalat syukur, kulihat istriku juga melakukan hal yang sama. la mengatakan, "Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah, aku memohon pertolongan kepada Allah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang tidak tahu sedikit pun tentang kebaikanmu, maka jelaskan kepadaku apa yang engkau sukai, sehingga aku bisa menunaikannya dan apa yang tidak engkau sukai sehingga aku dapat meninggalkannya. Dalam kaummu banyak wanita yang layak kamu nikahi, dan di dalam kaumku banyak lelaki yang layak menjadi suamiku, tetapi jika Allah sudah menentukan hal itu terjadi, sekarang engkau telah memilikiku. Kerjakanlah apa yang telah Allah perintahkan kepadamu, tetaplah memilikiku dengan baik atau menceraikanku dengan baik pula. Aku sampaikan hal ini dan aku memohon kepada Allah untukmu dan diriku." Syuraih melanjutkan, "Wahai Sya*bi, demi Allah, ia menjadikan aku berceramah mengenainya. Aku berkata, "Alhamdulillah, nahmaduhu wa nushalli ala Rasulihil Karim. Sungguh engkau telah mengatakan sesuatu yang jika engkau dapat membuktikan kebenarannya, maka itu akan menjadi nasibmu. Tetapi jika engkau hanya mengada-ada, maka hal itu akan menjadi bumerang bagimu. Aku suka ini dan itu. Aku tidak suka ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan, maka sebarkanlah. Dan apa yang engkau lihat dari keburukan, maka sembunyikanlah." Istriku berkata, "Siapakah di antara tetangga-tetanggamu yang kamu bolehkan ia untuk memasuki rumahmu, sehingga aku pun membolehkannya dan siapakah di antara mereka yang kamu tidak menyukai mereka untuk memasuki rumahmu, sehingga aku pun tidak membolehkannya?" Aku menjawab, "Bani fulan adalah orang-orang yang baik, sedangkan bani fulan adalah orang-orang yang tidak baik." "Wahai Sya’bi, aku hidup dengannya selama 20 tahun belum pernah aku mengomentarinya tentang sesuatu kecuali sekali itupun ketika aku berbuat zhalim kepadanya."

Oleh sebab itu, hendaknya diingat bahwa seorang istri hendaknya dapat menjadikan setiap ucapannya adalah penghibur bagi suaminya. Bila istri mempunyai keluhan hendaknya memperhatikan waktu dan situasi serta kondisi suami. Hendaknya ia mempedulikan, bahwa suami pun mempunyai pekerjaan yang juga menyita tenaga dan pikirannya. Untuk itu, walaupun bermacam-macam masalah yang dihadapi seorang istri, sebaiknya ia menyambut dan menghadapi suami dengan kata-kata yang menghibur hati dan menyenangkan. Jangan berbuat sebaliknya, yang seolah-olah ia tidak mempedulikan keadaan suami, sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan dan menyakitkan hati suami. Nabi saw. bersabda, "Shalat seorang wanita yang mengganggu suaminya dengan lidahnya, tidak diterima oleh Allah, walaupun ia berpuasa setiap hari, bangun dan shalat pada waktu malam, membebaskan beberapa budak dan membelanjakan uangnya di jalan Allah. Wanita dengan lidah busuk yang mengganggu suaminya dengan cara seperti ini adalah orang pertama yang akan memasuki neraka." (Bihar Anwar: 203).

Comments

Popular posts from this blog