Tangisan Anak Yatim 

 Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya ..........
ikutilah siri-siri berikutnya hingga habis untuk mengetahui kesudahan kisah ini



Tangis Pilu Anak Yatim


Oleh : HASMARUDDIN LUBIS

Dikisahkan oleh Hasan Al-Basri, baru saja kami selesai menshalatkan jenazah seseorang dan hendak menghantarkannya kekuburan, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada seorang anak perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu. Melihat keadaannya hatiku penasaran dan bertanya-tanya, mengapa anak kecil ini menangis?

Setelah selesai menshalatkan, kami pun bergegas menghantarkan jenazah ini ke kuburnya. Dalam iring-iringan jenazah mataku kembali tertuju pada anak kecil itu dan aku melihat sepanjang perjalanan ia terus menangis. Hatiku sebenarnya sedih, hiba melihatnya. Ingin bertanya, tapi lidahku kelu tidak dapat mengungkapkan kata.

Tidak beberapa lama, jenazah pun sampai dikuburan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku terus memperhatikannya sembari menunggu pemakaman selesai dilaksanakan. Gerak geriknya telah membuatku terharu, kerana seperti seorang dewasa, anak kecil itu dengan sabar mengikuti seluruh prosesi penyelenggaraan jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan sampai prosesi pemakaman. Ketika do’a dibacakan, air matanya terus mengalir sambil mulutnya turut mengaminkan.

Prosesi pemakaman pun telah selesai dilaksanakan, semua yang hadir dipemakaman satu persatu mulai beranjak pulang. Aku semakin penasaran, karena anak kecil itu tidak juga beranjak dari tempat duduknya dan malah semakin mendekat, tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Beberapa kata mulai keluar dari mulutnya, tapi aku tak tahu apa yang dia ucapkan. Lalu kuburan itu dipeluknya, dengan penuh kasih sayang tangannya mengusap pusara yang ada dalam dekapannya. Tidak terasa air mataku pun mengalir memperhatikan keadaannya.

Karena hari sudah beranjak malam, dengan derai air mata seolah pamitan, dari wajahnya terpancar rona kesedihan, anak itu pun beranjak pergi. Belum ada satu pun yang terduga dalam pikiranku siapa sebenarnya anak ini, apa sesungguhnya yang terjadi dengannya, dan mengapa ia sampai selarut itu dalam kesedihannya.

Keesokan harinya, sekira matahari naik sepenggalahan, aku kembali melihat anak itu dan membawa sesuatu. Pikiranku kembali tertuju kepadanya, lalu ku putuskan untuk mengikutinya. Ternyata anak itu kembali lagi ke kuburan itu dan melakukan seperti yang diperbuatnya pada hari pertama pemakaman. Setelah membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan memanjatkan do’a, dia pun kembali karena hari juga sudah semakin sore. Begitulah berlalu pada hari itu, anak itu masih saja dalam keadaan sedih yang berkepanjangan.

Sama seperti hari kemarin, pada hari ke tiga anak kecil itu pergi lagi kekuburan itu melakukan seperti yang dilakukannya pada hari-hari kemarin. Gelagat anak itu telah membuatku semakin penasaran dan terharu, sehingga aku memutuskan untuk memperhatikannya dari jarak yang dekat. Dengan penuh penasaran aku pun terus mendekat, melihat, dan mendengarkan apa sebenarnya yang dia perbincangkan dikuburan itu.

Matanya terlihat sembab, karena banyak mengeluarkan air mata, rona wajahnya pun menunjukkan kesedihan yang dalam, kehilangan ternyata telah membuatnya larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Air mataku kembali mengalir, seraya mendengar pembicaraanya, aku baru sadar bahwa mayit yang ada dalam pelukannya itu adalah ayah kandungnya yang menghidupinya, merawatnya, dan membesarkannya setelah mereka ditinggal oleh ibunya karena sudah terlebih dahulu berpulang ke haribaan Allah SWT.

Katanya “ayah, selama ini kita hidup bersama, bercengkrama dalam suka maupun duka, susah senang kita jalani bersama, sekarang ini ayah bercengkrama, bersuka cita dengan siapa?, ayah, semasa dulu ayah selalu menumpahkan kasih sayang dan amarah kepadaku, tapi sekarang ini kepada siapa kasih sayang dan amarah itu ayah tumpahkan?, ayah, semasa hidup dulu ayah selalu berbuat baik pada semua orang, sekarang ini adakah yang berbuat baik untuk ayah?, ayah, ketika dulu kita masih bersama, aku selalu mengambilkan makanan dan kopi untukmu, sekarang ini siapakah yang membuatkan dan menghidangkan makanan dan kopi untuk ayah?, ayah, ketika ayah dulu capek, lelah sepulang bekerja, aku selalu memijat ayah, sekarang ini siapakah yang memijat ayah?, ayah, ketika dulu ayah tidur di malam hari, aku selalu menarikkan selimut untuk ayah, sekarang ini siapakah yang menarikkan selimut untuk ayah?, ayah, sekarang ini aku hidup dalam kesendirian, tidak ada tempat untuk mengadu, tidak ada tempat bermanja-manja, kasih sayang kini telah hilang, adakah ayah memperhatikanku? Bukankah dulu ayah berkata, kalau aku sudah dewasa nanti, ayah akan terus bersamaku mencukupi keperluanku, membesarkanku, dan mendidikku, tapi sekarang mengapa ayah pergi meninggalkanku?. Begitulah kesedihan dan tangisan itu terus, sampai-sampai aku tak sadar aku juga telah larut dalam kesedihannya”. 

Karena tidak tahan mendengar tangisan dan keluhannya, dengan lembut ku raih pundaknya, kupeluk ia dengan erat, lalu ia pun terbangun dan menoleh kepadaku. Aku berkata “anakku, ucapanmu telah menggetarkan langit dan bumi, kesedihanmu telah membuat alam ini terluka, tangisanmu telah menggores duka bagi seluruh jagat alam raya, tapi wahai anakku sesungguhnya kepergian ayahmu, bukanlah kepergian yang sia-sia, dia pergi untuk menjumpai Allah SWT yang telah menciptakannya. Relakanlah kepergiannya,  karena sesungguhnya hari ini dia sedang berbahagia melihatmu sebagai anak yang soleh. 

Anakku, semua ucapanmu kepadanya telah pula membuatnya berduka lara, menangis, dan menjerit, tidak tahan melihat kesedihanmu, bukankah engkau telah membacakan ayat Al-Qur’an untuknya dan telah mendo’akannya...? Wahai anakku jadikanlah bacaan Al-qur’anmu dan do’amu sebagai bekalnya, karena dia saat ini sedang ditanya tentang amal perbuatannya di atas dunia. Anakku, tidaklah baik bagi kita bersedih melebihi dari tiga hari karena itulah hari berkabung sebagaimana telah di sabdakan Nabi Muhammad SAW, tidakkah engkau tahu bahwa mengungkapkan kata seperti yang engkau ucapkan kepadanya adalah merupakan ratapan, yang akan menjadi beban dan siksa baginya...? Anakku, bukankah engkau sangat menyayangi dan mencintainya..?, sebagai wujud cinta dan kasih sayangmu kepadanya, katakanlah wahai ayah, saat ini ayah sendiri dalam alam peristirahatan menjelang hari akhir, semoga engkau dapat menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Ayah, semasa dulu ayah hidup, selalu berbuat baik pada semua orang, kasih sayangmu begitu tulus, didikanmu begitu baik, tutur katamu begitu halus, semoga Allah SWT. Membalaskan kebaikanmu menjadi kenikmatan, kelapangan, dan dijauhkan dari siksa. 

Wahai anakku, katakan kepada ayahmu, wahai ayah, sepeninggal ayah, tidak ada yang ayah sia-siakan dalam hidup ini termasuk diriku, karena ayah telah menanamkan benih kebaikan itu pada semua orang, kini aku telah mempunyai ayah lagi yang akan meneruskan semua pemberianmu kasih sayang, perhatian kepadaku. Tenangkanlah dirimu ayah, hadapkanlah wajahmu kepada Rabb Yang Maha Bijaksana, semoga ayah berbahagia, selamat fiddunya, selamat filkubur, dan selamat filakhirat, dan semoga kita akan dipertemukan Allah SWT. kembali fi jannatil firdaus.

Mendengar nasehatku, ternyata anak ini pun menerima dengan lapang dada, dan sejak itu dia tidak bersedih lagi.

Semoga kisah ini dapat menjadi i’tibar dan pembelajaran bagi setiap yang membacanya. Wallohu a’lam bisshowab.

Comments

Popular posts from this blog