Islam dan Toleransi 

 
 Beberapa waktu lalu, di Damaskus, ibu kota Suriah digelar seminar internasional dengan tema "Toleransi Islam dan Hambatannya". Seminar ini dihadiri oleh cendikiawan dan ulama dari mancanegara. Sejumlah isu penting seperti konsep toleransi menurut pemikiran Islam dan agama-agama samawi, landasan toleransi religius, budaya toleransi di Timur dan Barat, dan pengaruh toleransi agama merupakan subtema yang dikaji dalam seminar Damaskus. Dalam beberapa tahun terakhir, menyusul mencuatnya wacana toleransi di dunia Barat, pandangan Islam mengenai wacana tersebut menjadi bahan perhatian. Selama ini pun telah digelar pelbagai seminar serupa dan seminar Damaskus merupakan yang paling terbaru digelar.

Dalam tradisi Islam, toleransi biasa dipadankan dengan istilah ‘tasahul wa tasamuh'. Tasahul berarti mempermudah atau bersikap lembut dan ramah dengan yang lain. Sementara tasamuh berarti memaafkan. Sesuai dengan ajaran al-Quran dan hadis, di satu sisi Islam merupakan ajaran agama yang mudah diterapkan. Sedang di sisi lain, Islam menghendaki keramahan dan sikap pemaaf. Dalam salah satu hadisnya yang terkenal, Rasulullah Saw bersabda, "Allah Swt tidak mengutusku untuk (mengajarkan) tentang mengasingkan diri dan kerahiban. Tapi mengutusku untuk membawa agama yang suci, mudah, dan pemaaf".

Mengomentari masalah itu, filosof kontemporer Iran, Syahid Muthahhari menuturkan, "Islam sebagaimana yang dituturkan oleh Rasulullah saw merupakan agama yang pemaaf dan mudah. Dalam syariat ini, lantaran sifatnya yang mudah itulah, maka Allah tidak mengeluarkan kewajiban yang sulit. (Sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Quran) Allah tidak menetapkan hal yang menyulitkan dalam agamanya. Dan lantaran sifat Islam yang pemaaf, maka setiap kewajiban yang sulit dilaksanakan, akan dibebaskan". Dengan demikian menurut Islam, secara teoritis dan praktis maupun etis, toleransi merupakan hal yang dibenarkan. Tentu saja, toleransi yang diterapkan itu mesti berlandaskan pada prinsip dan nilai-nilai Islam serta sesuai dengan maslahat umat.

Salah satu contoh dari toleransi yang diajarkan Islam adalah berlaku ramah dengan masyarakat. Masalah itu telah berkali-kali ditekankan oleh Islam, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. Beliau bersabda, "Hidup bermasyarakat dengan ramah merupakan separuh iman. Dan bersikap lemah lembut dengan mereka merupakan separuh kehidupan".

Imam Ali as juga meyakini bahwa keselamatan di dunia dan akhirat ditentukan oleh sikap ramah seseorang dalam bermasyarakat. Perjalanan hidup Rasulullah saw dan para Ahlul Baitnya as juga menunjukkan sikap mereka yang selalu diwarnai dengan kasih sayang dan pemaaf. Sikap semacam itu tidak hanya mereka terapkan di kalangan masyarakat muslim semata tapi juga di kalangan non-muslim. Terkait hal ini, Ayatollah Syahid Muthahhari menulis, "Islam menginginkan kita supaya berlaku baik terhadap semua orang, bahkan pada terhadap orang-orang kafir sekalipun. Kepada sekelompok orang-orang kafir, Rasulullah saw berkata, ‘Hati ku sedih melihat kalian. Mengapa kalian tidak sampai pada kebaikan dan hak yang mesti kalian peroleh'. Sejatinya, Rasulullah Saw menjadi begitu cemas dan sedih lantaran orang-orang kafir tidak bisa memahami kebenaran dan melangkah di jalan yang benar. Sebegitu sedihnya Rasulullah saw melihat kondisi mereka hingga Allah Swt dalam surat al-Kahfi, ayat 6 berfirman, "Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Quran)".

Menurut Islam, para ahli kitab, orang-orang musyrik dan kafir akan tetap memperoleh rahmat dan perlindungan dari masyarakat muslim jika mereka tidak memusuhi dan menentang Islam. Mereka bisa hidup damai di bawah pemerintahan Islam. Ajaran Islam yang toleran inilah yang membuat hubungan antarumat beragama menjadi hangat dan harmonis. Menurut pengakuan para orientalis, umat Islam lebih maju dibandung umat lainnya dalam urusan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Sebagaimana yang dibuktikan oleh sejarah, umat yahudi, nasrani, dan majusi selalu hidup berdampingan dengan damai di bawah pemerintahan Islam. Suatu kenyataan yang sangat kontras dengan penjajahan dan kolonialisme Barat.

Will Durant, sejarawan terkenal AS, saat memuji kebesaran peradaban Islam menulis, "Islam selama lima abad, sejak tahun 81 H hingga 597 H, dari sisi kekuatan, kedisiplinan, etika yang mulia, dan peningkatan taraf hidup serta dari sisi hukum kemanusiaan yang adil, toleransi beragama, penelitian ilmiah, kedokteran, dan filsafat menempati posisi terdepan".

John Esposito, Profesor masalah Internasional dan studi Islam di Universitas George Town, AS menekankan, "Berdasarkan sejarah, pada saat kejayaan dan kemenangan pertama membuat pemerintahan Islam makin meluas, namun umat Islam tidak berupaya memaksakan agamanya kepada pihak lain dan memaksa mereka memeluk Islam". Tidak hanya itu saja, umat Islam bahkan sangat toleran jika komunitas non-muslim mengungkapkan dan menjalankan keyakinannya.
Dalam Seminar Toleransi Islam dan Hambatannya di Damaskus, Ali Muhyiddin, dosen ilmu fiqh di Universitas Qatar menegaskan kembali slogan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta dan menyatakan bahwa masyarakat non-muslim pun bisa hidup rukun berdampingan di tengah masyarakat muslim.

Di kalangan masyarakat Barat, ‘tasahul dan tasamuh' diistilahkan dengan kata ‘toleransi'. Selain bermakna sabar dan menahan diri. Istilah itu terkadang juga berarti hidup tanpa aturan dan bebas menerima apapun. Toleransi dari perspektif Barat terkadang diartikan sebagai sikap yang tak lagi mempedulikan prinsip dan ajaran agama yang dipegang serta bisa meyakini kepercayaan ataupun ajaran agama lain. Perspektif toleransi semacam itu tentu saja tidak lagi mempedulikan tercampurnya masalah hak dan batil. Agama tidak lagi dipandang sebagai ajaran yang sakral yang memiliki otoritas di semua dimensi. Peran agama hanya berkutat pada sisi personal semata. Sehingga, sekularisme pun menjadi berkembang luas. Sejatinya, penyebaran cara pandang toleransi semacam itu bertujuan untuk melemahkan pengaruh agama dan menyebarkan kultur liberal yang tidak mengenal aturan moral.

Sayangnya di dunia Islam, ada juga sebagian pihak yang menerima pemikiran toleransi ala Barat tersebut. Mereka menilai, berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Islam sebagai aksi yang konservatif dan radikal. Tidak hanya itu saja, mereka juga menghendaki supaya menghapus ajaran yang tidak sesuai dengan gaya hidup liberalisme Barat. (IRIB)

Comments

Popular posts from this blog