~Antara Rezeki, Jodoh, dan Ajal/Kematian~
Banyak
mungkin diantara kita yang masih berpendapat bahwa Rezeki, Ajal, serta
jodoh telah ditetapkan oleh Allah semenjak kita masih di dalam
kandungan. Pemikiran seperti ini mungkin telah mentajasad atau seolah
telah mendarah daging di dalam diri kita (red = pemikiran). Apalagi
kiranya sejak kecil mungkin orang tua, guru, dan lingkungan masyarakat
dimana tempat kita hidup pun kalimat ini sampai sekarang masih sangat
familiar diulang-ulang.
Untuk membahas ini, maka mari kita coba untuk urai masalah ini sehingga
kita bisa menyimpulkan tentang hakikat dari ketiga kata tersebut, yakni
seputar Rezeki, Ajal, dan Jodoh.
1. REZEKI
Ar-Rizqu (rezeki) secara bahasa berasal dari akar kata
razaqa–yarzuqu–razq[an] wa rizq[an]. Razq[an] adalah mashdar yang
hakiki, sedangkan rizq[an] adalah ism yang diposisikan sebagai mashdar.
Kata rizq[an] maknanya adalah marzûq[an] (apa yang direzekikan);
mengunakan redaksi fi’l[an] dalam makna maf’ûl (obyek) seperti dzibh[an]
yang bermakna madzbûh (sembelihan).
Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian). 1 Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain. Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi yang diberikan).2 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah adalah rizq[an]. Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya.
Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian). 1 Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain. Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-mu’thâ (bagian/porsi yang diberikan).2 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah adalah rizq[an]. Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan. Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya.
Ayat-ayat tentang rezeki lebih banyak menunjuk pada harta baik berupa
barang maupun jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi aneka kebutuhan
manusia. Konteks ayat-ayat bahwa Allah meluaskan dan menyempitkan
rezeki juga lebih menunjuk pada konotasi harta. Itu pula yang
diindikasikan oleh ayat-ayat yang mengaitkan rezeki dengan konsumsi dan
infak (pembelanjaan), karena konsumsi dan infak hanya terkait dengan
harta.
Rezeki berbeda dengan kepemilikan. Kepemilikan adalah penguasaan sesuatu
dengan tatacara yang diperbolehkan syariah untuk menguasai harta. Jadi,
rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram. Inilah yang
menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam
al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai rezeki. Harta yang diambil
penjudi dari lawannya dalam perjudian adalah rezeki. Sebab, rezeki yang
halal ataupun haram itu adalah harta yang diberikan oleh Allah ketika
seseorang berbuat untuk melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa
diperoleh rezeki.3
Rezeki bukan hanya yang secara riil dimanfaatkan (dinikmati) oleh
seseorang. Ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa rezeki manusia adalah
apa saja yang ia kuasai baik yang ia manfaatkan maupun tidak (Lihat QS
al-Baqarah [2]: 57, 60; an-Nisa’ [4]: 5; ar-Ra’d [13]: 26; al-Hajj [22]:
34). Ayat-ayat itu jelas memutlakkan rezeki untuk menyebut semua yang
dikuasai baik dimanfaatkan (secara riil) maupun tidak. Tidak bisa
dikhususkan pada apa yang dimanfaatkan (secara riil) saja tanpa ada ayat
yang mengkhususkannya, karena ayat-ayat tersebut bersifat umum dan
penunjukannya juga umum. Jika orang mencuri, menilap atau merampas harta
orang lain, tidak dikatakan ia mengambil rezeki orang itu. Namun, ia
mengambil rezkinya dari orang itu. Tidak ada seorang pun yang mengambil
rezeki orang lain, melainkan seseorang mengambil rezekinya dari pihak
lain.
Rezeki dan Usaha
Banyak orang menduga, merekalah yang mendatangkan rezeki mereka sendiri.
Mereka menganggap kondisi-kondisi mereka meraih harta—barang atau
jasa–sebagai sebab datangnya rezeki; meskipun mereka menyatakan, bahwa
Allahlah Yang memberikan rezeki. Profesi atau usaha yang dicurahkan
mereka anggap sebagai sebab datangnya rezeki.
Fakta yang ada sebenarnya cukup jelas menunjukkan kesalahan anggapan itu. Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap tenaga dan pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang justru merugi. Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang tanpa dia melakukan usaha apapun. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya rezeki. Rezeki tidak berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan rezeki itu datang kepada manusia dan Dia memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Fakta yang ada sebenarnya cukup jelas menunjukkan kesalahan anggapan itu. Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap tenaga dan pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang justru merugi. Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang kepada seseorang tanpa dia melakukan usaha apapun. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya rezeki. Rezeki tidak berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan rezeki itu datang kepada manusia dan Dia memberinya kepada manusia menurut kehendak-Nya.
Banyak ayat al-Quran menegaskan secara pasti bahwa rezeki semata ada di
tangan Allah dan Allahlah yang memberi rezeki (QS al-Baqarah [2]: 172,
212, 254; Ali Imran [3]: 27, 37; al-An’am [6]: 142; al-‘Ankabut [29]:
60; ar-Rum [30]: 40; dsb). Dia meluaskan dan menyempitkan rezeki
seseorang sesuai dengan kehendakNya (QS ar-Ra’d [13]: 26; al-Isra’ [17]:
30; al-Qashshash [28]: 82; al-‘Ankabut [29]: 62; ar-Rum [30]: 37; Saba’
[34]: 36; az-Zumar [39]: 52; asy-Syura [42]: 12). Sesuai kehendak-Nya,
Dia memberi rezeki kepada seseorang dari arah yang tidak
disangka-sangka. Karena itu, Allah SWT berfirman (artinya): Mintalah
rezeki itu di sisi Allah (TQS al-‘Ankabut [29]: 17). Jadi, rezeki semata
di tangan Allah dan hanya Allahlah yang memberi rezeki. Ini adalah
keyakinan yang harus diimani dan mengingkarinya berarti kufur.
Adapun dari sisi amal, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk berusaha dan
berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya rezeki bisa
datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha, ikhtiar
dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki. Allah tidak
menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan
menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah
menjelaskan mana yang halal dan yang tidak.
Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat: QS Hud [11]: 6)
Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat: QS Hud [11]: 6)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa pada usia kandungan 120
hari, Allah mengutus malaikat untuk menuliskan beberapa ketetapan atas
janin itu, termasuk ketetapan rezeki dan ajalnya. Para ulama
menjelaskan, yaitu ketetapan sedikit dan banyaknya rezeki. Sedikit dan
banyaknya rezeki atau kaya dan miskinnya seorang hamba tidak akan
dihisab oleh Allah karena itu semata adalah ketetapan Allah.
Allah SWT meluaskan dan menyempitkan rezeki seorang hamba sesuai
kehendak-Nya. Itu adalah ujian bagi hamba (QS al-Fajr [89]: 15-16). Kaya
dan miskin tidak bersifat baik atau buruk dengan sendirinya; juga tidak
menentukan mulia dan hinanya seseorang. Namun, kaya dan miskin itu
menjadi baik atau buruk, memuliakan atau menghinakan, ditentukan oleh
penyikapan terhadapnya.
Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya juga
telah ditetapkan. Jika hamba itu memintanya dengan jalan yang halal
ataupun dengan jalan yang haram, Allah berikan. Namun, Allah akan
menanyai tatacara perolehan dan pembelanjaan harta itu.
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ
مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا
أَبْلاَهُ
Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya: umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa’;dan tubuhnya digunakan untuk apa (HR at-Tirmidzi).
Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat hingga ia ditanya: umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan dibelanjakan untuk apa’;dan tubuhnya digunakan untuk apa (HR at-Tirmidzi).
Seret atau tertundanya rezeki hendaknya tidak membuat seseorang
tergesa-gesa lalu memintanya kepada Allah dan mencarinya dengan jalan
yang haram. Rasul saw. berpesan:
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِيْ رَوْعِيْ: إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتُ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِيْ الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِيْ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرَكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
Malaikat Jibril membisikkan di dalam hatiku, bahwa suatu jiwa tidak akan mati hingga telah sempurna rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan carilah (rezeki) dengan cara yang baik—halal, proporsional dan tidak tersibukkan dengannya—dan hendaklah tertundanya (lambatnya datang) rezeki tidak mendorong kalian untuk mencarinya dengan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya keridhaan di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya (HR Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan al-Bazar dari Ibn Mas’ud).
إِنَّ رُوْحَ الْقُدْسِ نَفَثَ فِيْ رَوْعِيْ: إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتُ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِيْ الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِيْ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرَكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
Malaikat Jibril membisikkan di dalam hatiku, bahwa suatu jiwa tidak akan mati hingga telah sempurna rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan carilah (rezeki) dengan cara yang baik—halal, proporsional dan tidak tersibukkan dengannya—dan hendaklah tertundanya (lambatnya datang) rezeki tidak mendorong kalian untuk mencarinya dengan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya keridhaan di sisi Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya (HR Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan al-Bazar dari Ibn Mas’ud).
Keimanan tentang rezeki itu menjadi salah satu kunci seorang tidak akan
tersibukkan dengan dunia, tidak menjadi pemburu harta, bisa bersikap
zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf nahi mungkar dan ketaatan
pada umumnya. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang rahasia
zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa diambil
orang lain. Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu amalku tidak
akan bisa dilakukan oleh selainku,. Karena itu, aku pun sibuk beramal.
Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku malu jika Dia
melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian menungguku. Karena
itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa dengan-Nya.”
2. JODOH
Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk
menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri,
pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus
bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih
spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana
terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup.
Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat
dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan. Para Fuqaha’ ketika membahas
hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk
suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni
istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat
tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa
Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau
individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik
diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum
manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu
ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam Azal bahwa A
akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang mendalam
terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan
Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya seraya
mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain. Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain. Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur adukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh menunjukkan bahwa persoalan
ini adalah termasuk masalah aqidah, sebab kepercayaan bahwa Allah
mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, atau Allah
tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal. Efek
pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu seputar
persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan oleh
seorang mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah aqidah,
bukan syariat dan dalam masalah ini pambahasan tersebut tidak ada
bedanya dengan pembahasan tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur,
dsb.
Dalam persoalan aqidah, seorang Muslim harus mendasarkan semua
kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak diperkenankan seorang
Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil., yakni sekedar menduga-duga
atau mengikuti umumnya kata orang. Dalil itupun harus bersifat (
قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh bersifat ( ظَنِّيٌّ ) (dugaan).
Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang menunjukkan pada keyakinan
tertentu, selama dalil itu bersifat ( ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang
Muslim mengambilnya sebagai aqidah. Allah telah mencela keras
orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa para Malaikat itu
berjenis kelamin wanita:
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”(An-Najm;27-2
artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”(An-Najm;27-2
artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
Keyakinan mereka hanya didasarkan pada dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon
itu sama sekali tidak ada nilainya untuk membuktikan ( الْحَقُّ )
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).
Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak
ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan
Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan seseorang.
Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah
mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Artinya
persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan,
yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil
yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia
adalah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;4).
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;4).
Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan bahwa
setiap Muslim dipersilahkan memilih calon istrinya. Alasannya, ketika
Allah memubahkan untuk menikahi wanita-wanita yang ( طَابَ ) (manis,
enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela lelaki yang
tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena fisik
maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah
persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.
Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan bahwa syara’ memberikan hak
menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum wanita, yang tidak boleh
ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu, paman, musyrif, atau
khalifah sekalipun.
عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini. (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa’i)
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabipun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini. (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa’i)
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah
pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang
menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu
tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan
bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata
syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Lebih dari itu studi terhadap akad-akad yang diatur dalam syari’at Islam
menunjukkan bahwa semua akad yang disana terdapat Ijab dan Qabul adalah
mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Dengan demikian
jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya adalah termasuk
perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Manusia
akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia melakukan
jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang syar’i maka
ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan cara batil
maka ia akan dijatuhi hukuman. Demikian pula masalah menentukan pasangan
hidup. Jika seorang wanita Muslimah memutuskan menikah dengan orang
kafir maka ia akan dihukum, sebaliknya jika ia menikah dengan lelaki
yang dihalalkan syara’ maka ia bebas dari hukuman.
Adapun ayat yang berbunyi
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (Ar-Rum; 21)
“Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan” (An-Naba’:
juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Allah memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (Ar-Rum; 21)
“Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan” (An-Naba’:
juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Allah memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.
Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan
Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk
Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)
maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah perkara yang sudah
ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah biasa
sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai
manusia dan manusia dihisab atasnya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik haji dan sudah menyiapkan semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah memberinya sakit. Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah haji adalah wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian ia menjadi ridlo terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu berada diluar kuat kuasanya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ ) yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik haji dan sudah menyiapkan semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah memberinya sakit. Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah haji adalah wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian ia menjadi ridlo terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu berada diluar kuat kuasanya.
Demikian pula dalam persoalan pasangan hidup. Memilih siapapun yang akan
menjadi pasangan hidup semuanya adalah perkara (اخْتِيَارِيٌّ), akan
tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain. Seorang
dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Allah mencondongkan pada suatu
keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Allah adalah Dzat
yang kuasa membolak-balikkan hati manusia. Namun ketika Allah
mencondongkan pada suatu keputusan, bukan berarti Allah memasangkan X
dengan Y atau P dengan Q sejak zaman Azali, alasannya orang masih punya
pilihan mutlak untuk memutuskan hatta terhadap sesuatu yang berlawanan
sama sekali dengan kehendaknya. Karena itu keimanan yang harus dimiliki
adalah keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak,
baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang tidak dikuasai manusia,
bukan keimanan bahwa Allah telah menetapkan dalam Lauhul Mahfudz bahwa A
dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum sesuai dengan nash-nash syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh menjadikan alasan kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk menghentikan orang dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang jodoh. Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum sesuai dengan nash-nash syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh menjadikan alasan kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk menghentikan orang dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang jodoh. Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.
3. AJAL/KEMATIAN
Secara bahasa kata ajal berasal dari kata: ajila–ya‘jalu–ajal[an].
Menurut al-Khalil al-Farahidi dalam Kitâb al-‘Ayn dan ash-Shahib ibn
‘Abad di dalam Al-Muhîth fî al-Lughah, dikatakan ajila asy-syay‘u
ya‘jalu wahuwa âjilun artinya naqîdu al-‘âjil (lawan dari segera).
Dengan demikian, al-ajal (bentuk pluralnya al-âjalu) secara bahasa
artinya terlambat atau tertunda.
Selain itu, secara bahasa, kata ajal juga memiliki beberapa makna sebagai berikut:
Selain itu, secara bahasa, kata ajal juga memiliki beberapa makna sebagai berikut:
● Ghâyah al-waqti fî al-mawti wa mahalu ad-dayn wa nahwuhu (akhir waktu
pada kematian dan jatuh tempo utang dan semacamnya) (Al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah).
● Muddah asy-syay‘i (jangka waktu sesuatu) (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab; al-Jauhari, Ash-Shihah fî al-Lughah).
● Muddatuhu wa waqtuhu al-ladzî yahillu fîhi (jangka waktunya dan waktu saat sesuatu itu berlalu) (Al-Fayumi, Mishbâh al-Munîr).
● Jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu atau perbuatan (Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
● Waktu yang ditetapkan untuk habisnya sesuatu (Abu Hilal al-‘Askari, al-Furûq al-Lughawiyah).
Dari sini ajal al-insân (ajal manusia) adalah akhir kehidupan seseorang atau habisnya umur seseorang. Artinya, saat ajal seseorang itu tiba, saat itu pulalah kematian datang menjemputnya.
● Muddah asy-syay‘i (jangka waktu sesuatu) (Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab; al-Jauhari, Ash-Shihah fî al-Lughah).
● Muddatuhu wa waqtuhu al-ladzî yahillu fîhi (jangka waktunya dan waktu saat sesuatu itu berlalu) (Al-Fayumi, Mishbâh al-Munîr).
● Jangka waktu yang ditetapkan untuk sesuatu atau perbuatan (Rawas Qal’ahji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’).
● Waktu yang ditetapkan untuk habisnya sesuatu (Abu Hilal al-‘Askari, al-Furûq al-Lughawiyah).
Dari sini ajal al-insân (ajal manusia) adalah akhir kehidupan seseorang atau habisnya umur seseorang. Artinya, saat ajal seseorang itu tiba, saat itu pulalah kematian datang menjemputnya.
Di dalam al-Quran kata ajal dan bentukannya disebutkan sekitar 55 kali.
Di antaranya dalam arti jangka waktu (misal: QS al-Baqarah [2]: 231,
232, 234, 235; al-A’raf [7]: 135); umur (misal; QS al-A’raf [7]: 34;
Yunus [10]: 11, 49); akhir umur/akhir kehidupan (misal: QS an-Nahl [16]:
61; Fathir [35]: 45).
Sebab Kematian: Berakhirnya Ajal
Ayat-ayat al-Quran yang qath’i tsubut dan qath’i dilalah menyatakan
secara pasti bahwa Allah SWT sajalah Zat Yang menghidupkan dan
mematikan. Allah SWT berfirman:
وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).
Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).
Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).
Al-Quran juga menegaskan hal ini pada banyak ayat lainnya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 73, at-Tawbah [9]: 116, Yunus [10]: 56, al-Hajj [22]: 6, al-Mu’minun [23]: 80, al-Hadid [57]: 2).
Allah SWT telah menetapkan ajal bagi tiap-tiap umat maupun individu. Kematian, yaitu datangnya ajal, telah ditentukan waktunya sebagai suatu ketetapan dari Allah yang tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
Pernyataan senada antara lain terdapat dalam: QS Yunus [10]: 49; an-Nahl
[16]: 61 dan QS al-Munafiqun [63]: 11. Jadi, habisnya ajal atau
datangnya kematian adalah sesuatu yang pasti (QS al-‘Ankabut [29]: 5).
Karena kematian adalah pasti datangnya maka manusia tidak akan bisa lari
menghindar darinya. Allah SWT menegaskan:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan menemui kalian.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS an-Nisa’[4]: 78).
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan menemui kalian.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS an-Nisa’[4]: 78).
Ayat ini menegaskan, jika orang berupaya menghindar dari kematian—dengan
jalan membentengi diri dari apa saja yang dia sangka menjadi sebab
datangnya kematian seakan dia berlindung dalam benteng yang tinggi lagi
sangat kokoh sekalipun—maka hal itu tidak akan bisa menghindarkannya
dari kematian. Sebab, semua yang disangka sebagai sebab maut itu baik
berupa sakit, perang, dsb, sejatinya bukanlah sebab maut. Semua itu
hanyalah kondisi yang didalamnya kadang terjadi kematian, namun kadang
juga tidak.
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa satu-satunya sebab kematian adalah
habisnya ajal, yaitu habisnya jangka waktu yang ditetapkan untuk
manusia; atau datangnya ajal, yaitu datangnya batas akhir umur manusia.
Ketika itulah, Allah SWT mematikannya dengan mengutus Malaikat Maut
untuk mencabut ruh dari jasad (QS as-Sajdah [32]: 11).
Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap orang telah ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak akan memajukan atau menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah atau mengurangi jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan penafian selama-lamanya (Lihat pula: QS Fathir [35]: 11).
Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki. Ajal dan umur tiap orang telah ditetapkan oleh Allah. Allah SWT juga menegaskan tidak akan memajukan atau menangguhkan ajal seseorang. Allah tidak akan menambah atau mengurangi jatah umur seseorang. Dalam QS al-Munafiqun [63]: 11, Allah mengungkapkan dengan kata lan yang merupakan penafian selama-lamanya (Lihat pula: QS Fathir [35]: 11).
Datangnya ajal adalah pasti, tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.
Berjihad, berdakwah, amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa, dsb,
tidak akan menyegerakan ajal atau mengurangi umur. Begitu pula berdiam
diri, tidak berjihad, tidak berdakwah, tidak mengoreksi penguasa, tidak
beramar makruf nahi mungkar, dan tidak melakukan perbuatan yang disangka
berisiko mendatangkan kematian, sesungguhnya tidak akan bisa
memundurkan kematian dan tidak akan memperpanjang umur. Semua itu jelas
dan tegas dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran seperti di atas.
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad).
Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak lain
adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga
maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis,
yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus
mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda
menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).
إِنَّ اللهَ لاَ يُؤَخِرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمْرِ بِالذُّرِيَّةِ الصَّالِحَةِ يَرْزُقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُوْنَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحِقَهُ دُعَاؤُهُمْ فِيْ قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat,
sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur
sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis,
seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala
karenanya.
Dengan demikian, tidak ada gunanya lari dari maut. Maut juga tidak
selayaknya ditakuti karena pasti datangnya. Sikap takut akan mati dan
berupaya lari dari maut yang pasti datang bisa dikatakan sebagai sikap
bodoh dan upaya yang sia-sia. Yang harus dilakukan adalah mempersiapkan
diri menyongsong datangnya maut dan memelihara diri supaya maut itu
datang dalam kondisi kita sedang menunaikan ketaatan sehingga kita
mendapatkan husnul khatimah. Inilah sikap cerdas dan upaya yang berdaya
guna. Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak dan
paling baik persiapannya dalam menyongsong datangnya maut. Ibn Umar
meriwayatkan, Rasul saw. pernah ditanya, siapakah Mukmin yang paling
cerdas? Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ أُوْلَئِكَ مِنْ اْلأَكْيَاسِ
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik persiapannya untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka. Mereka itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas (HR Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ بِهِمْ أُوْلَئِكَ مِنْ اْلأَكْيَاسِ
Mereka yang paling banyak mengingat maut dan paling baik persiapannya untuk menghadapi maut itu sebelum turun kepada mereka. Mereka itulah yang termasuk Mukmin yang paling cerdas (HR Ibn Majah, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu’aim dan ath-Thabrani).
KESIMPULAN
1. Rezeki merupakan takdir yang telah Allah tetapkan kadarnya. Rezeki
tidak terikat dengan adanya usaha manusia untuk mendapatkannya. Karena
Rezeki yang diperoleh oleh manusia bukanlah hasil dari usaha yang mereka
lakukan, namun karena memang rezeki tersebut telah Allah tetapkan atas
manusia. Rezeki semata di tangan Allah dan hanya Allahlah yang memberi
rezeki. Adapun dari sisi amal, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk
berusaha dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di dalamnya
rezeki bisa datang. Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa
usaha, ikhtiar dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki. Allah
tidak menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi Allah akan
menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki. Karenanya, Allah
menjelaskan mana yang halal dan yang tidak. Rezeki setiap hamba telah
dijamin oleh Allah. Allah pun telah menetapkan kadar dan takaran bagian
atau porsi rezeki tiap hamba (Lihat: QS Hud [11]:
2. Jodoh merupakan sebuah pilihan, bukan ketetapan dari Allah. Tidak ada
satupun nash-nash di dalam al qur’an maupun di dalam hadist yang
mengindikasikan bahwa Jodoh adalah sebuah takdir/ketetapan dari Allah.
Adapun ketika manusia di dalam kandungan, memang ada hadist yang
menerangkan bahwa Ajal dan Rezeki telah Allah tetapkan, namun tidak ada
kata Jodoh pada isi hadist tersebut. عَنْ عَبْدِاللهِ قَالَ:
حَدَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقِ :إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا. ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ. وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكُتُبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ! إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ. فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ. فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ. حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إَلاَّ ذِرَاعٌ. فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. فَيَدْخُلُهُا
Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
حَدَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقِ :إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا. ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمَّ يُرْسِلُ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ. وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكُتُبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ! إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ. فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ. فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ. حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إَلاَّ ذِرَاعٌ. فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ. فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ. فَيَدْخُلُهُا
Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
3. Ajal atau Kematian merupakan suatu ketetapan yang telah Allah
takdirkan kapan waktunya, tidak bisa dimundurkan dan tidak bisa
dimajukan. Masalah ajal ini persis seperti masalah rezeki.
Wallahu A’lam bishowab.
Comments
Post a Comment