Pandangan terhadap Ilmu

 

“Orangtua ya bisanya mewariskan ilmu kepada anaknya, tidak bisa memberi harta”, begitu ucapan banyak orangtua, yang merasa dirinya tidak mampu secara ekonomi tetapi sangat mencintai ilmu. “Biarlah bapaknya tidak tamat SD, tetapi anak saya harus lebih pintar dibandingkan saya,” ungkapan yang juga sering saya dengar. Ungkapan ini adalah simbol kesadaran betapa pentingnya ilmu.

Di kampung, tidak jarang orangtua yang sadar pentingnya pendidikan harus merelakan sawah dan hewan ternak yang dipunyainya dijual untuk membiayai sekolah anaknya. Mereka bahkan rela untuk berhutang kiri-kanan untuk membayar uang sekolah atau kuliah anaknya dan dibayar kembali ketika sudah ada uang. Saya mengetahui secara personal banyak orang tua yang seperti itu. Suatu ketika seorang ibu berpesan berpesan kepada ibu saya, jangan sampai anaknya yang sedang kuliah di kota lain, mengetahui kalau untuk membayar uang kuliahnya menggunakan uang hasil hutang. Si ibu tidak mau membebani pikiran anaknya.

Jika Anda pernah tinggal di Yogyakarta dan bergaul dengan masyarakat sekitar, Anda mungkin tidak akan heran dengan cerita ini. Ketika musim pendaftaran sekolah tiba, jangan heran jika di pasar atau di pertemuan ibu-ibu dalam arisan dasawisma, yang dibicarakan adalah sekolah anaknya. Kesadaran masyarakat akan pentingnya sekolah sudah menjadi bagian dari kesadaran bersama. Mungkin Anda bisa temukan hal yang sama di kota lain. Atau mungkin tidak.

Namun, di sisi yang sangat ekstrim, saya juga sering mengetahui orangtua yang mengeluh tidak bisa menyekolahkan anaknya, padahal si bapak tiap hari menyisihkan uang yang cukup supaya mulutnya tidak sampai pahit jika berhenti merokok. Hitungan kasar saya, jika si bapak mau mengurangi atau bahkan berhenti merokok, biaya sekolah anaknya dapat terbayar dengan baik. Jika sehari menghabiskan uang Rp 5.000 untuk rokok, maka sebulah akan terkumpul Rp 150.000. Jumlah yang cukup untuk membayar uang sekolah.

Jika kita terlahir atau mengenal orang-orang dalam cerita pertama, sudah seharusnya kita bersyukur. Karena tidak jarang, hidup kita sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang terdekat kita, bagaimana lingkungan kita memberi contoh atau memandang sesuatu. Contoh positif dan pandangan inspiratif yang diberikan tanpa kita sadari seringkali menjadi bahan bakar semangat kita dan sangat mempengaruhi pilihan-pilihan yang kita buat dalam hidup kita.


Ilmu versus Harta

Suatu ketika, Nabi Sulaiman ditawari oleh Allah memilih antara ilmu, harta, dan tahta. Nabi Sulaiman dengan tegas memilih ilmu, dan pilihan tersebut adalah yang terbaik. Dengan pilihan itu juga, Nabi Sulaiman akhirnya mendapatkan harta dan tahta sebagai raja, dengan kehendak Allah. Nabi Sulaiman adalah raja yang sangat kaya dengan wilayah kekuasaan yang luas. Raja-raja lain menaruh hormat kepadanya. Kemampuan khusus yang diberikan oleh Allah untuk berkomunikasi dengan binatang menjadikannya semakin khusus.

Jika dalam posisi Nabi Sulaiman, bisa jadi pilihan kita tidak demikian. Rentang waktu tujuan hidup yang masuk dalam komponen pertimbangan akan sangat mempengaruhi keputusan seseorang. Orang dengan pertimbangan kebahagiaan jangka pendek dan mereka yang hedonis tentu tidak akan memilih ilmu. Mungkin kita termasuk di dalamnya.

Dalam sejarah Islam, kita juga mendapatkan pelajaran lain dari Imam Ali bin Abi Tholib. Representasi kaum muda yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad. Suatu ketika Nabi mengatakan, jika Nabi adalah gudang ilmu, maka Imam Ali adalah kuncinya. Ali sangat brilian dan berani mengambil sikap, dengan keteguhan iman yang tidak terbantahkan.

Ketika Nabi mengatakan bahwa Iman Ali adalah ‘kunci gudang ilmu’, kaum Quraisy tidak mempercayai. Akhirnya mereka pun menguji kebenaran julukan tersebut. Mereka mendatangi Imam Ali di suatu tempat, menemui Imam Ali satu per satu, dan mengajukan pertanyaan yang sama: manakah yang lebih utama, ilmu atau harta, dan mengapa? Dalam setiap jawaban, Imam Ali mengatakan bahwa ilmu lebih utama dibandingkan harta. Untuk setiap jawaban, Imam Ali memberikan alasan yang sangat beragam, sebagai bukti kecemerlangan pemikirannya.

Berikut adalah beberapa alasan yang sempat Imam Ali sampaikan sebelum para pengujinya percaya atas kecerdasan Imam Ali:
  1. Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun dan Fir’aun.
  2. Ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau yang harus menjaganya.
  3. Orang yang banyak ilmunya akan banyak pula orang yang menyayangi dan hormat kepadanya, sedangkan orang yang memiliki banyak harta akan banyak pula musuh dan orang yang iri kepadanya.
  4. Bila engkau gunakan, maka ilmu akan semakin bertambah banyak, akan tetapi sebaliknya, bila harta engkau gunakan, maka semakin lama akan semakin berkurang.
  5. Pemilik ilmu akan dihormati dan mendapat sebutan yang baik sedangkan pemilik harta sering kali dicemooh dan mendapat julukan yang buruk.
  6. llmu itu tidak ada pencurinya, sedangkan harta banyak sekali pencurinya.
  7. Pemilik ilmu akan diberi syafa’at (pertolongan), sementara pemilik harta akan dihisab (diusut asal-muasal dan penggunaannya) oleh Allah.
  8. Ilmu akan abadi selamanya, sedangkan harta sebaliknya. Harta adalah sesuatu yang fana dan suatu saat pasti akan habis tak bersisa.
  9. Pemilik ilmu dijunjung tinggi karena kualitas manusianya, sedangkan pemilik harta dijunjung tinggi karena jumlah harta-bendanya.
  10. Ilmu itu akan menyinarimu sehingga hati menjadi lembut, tidak beku dan hidup menjadi tenteram. Sedangkan harta sering kali membuat gelap mata, hati menjadi keras dan hidup menjadi tidak tenang, susah dan gelisah.
 Ilmu dan Agama

Nampaknya dalam semua agama, ilmu ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat. Dalam Islam, posisi ilmu ini sangat luar biasa terhormat.

Manusia diposisikan lebih terhormat dibandingkan malaikat, juga karena ilmu. Dalam Al-Qur’an, jelas tertulis, bahwa setelah Adam diberi intelektualitas dengan kemampuan mengidentifikasi nama-nama benda yang ada, maka Allah meminta malaikat bersujud kepada Adam. Semua bersujud kecuali Iblis. Nampaknya, jika kita tidak menghargai orang yang berilmu, prilaku kita merupakan cerminan kesombongan Iblis. Iblis tidak melihat apa kualitas intelektual, tetapi melihat ‘bahan baku’ penciptaan. Argumen Iblis kala itu adalah, karena dia diciptakan dari api, dan Adam dari tanah. Iblis mengira kalau api lebih terhormat dibandingkan tanah.

Namun, Allah adalah Maha Demokratis (maaf, tidak ada hubungannya dengan urusan partai politik!). Terjadilah dialog antara Allah dan Iblis. Iblis yang jelas-jelas mbalelo tersebut, bahkan diberi ijin oleh Allah untuk menggoda manusia untuk menguji mana yang berilmu/berakal dan mana yang tidak.  Dalam Surat Az-Zumar ayat 9, Allah berfirman, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Episode lain dalam sejarah Islam memperkuat pentingnya ilmu. Ketika Jibril diutus Allah menemui Muhammad, yang ketika itu belum menjadi rasul, yang diungkapkan Jibril pertama kali adalah, “Iqra’” (Bacalah!). Muhammad yang ummy, buta huruf, pun menjawab, “Ma ana biqari’” (Saya tidak bisa membaca!). Permintaan Jibril, menurut sebuah riwayat, bahkan diulang sampai tiga kali. Akhirnya, turunlah beberapa ayat pertama Al-Quran sebagai bukti inagurasi atau pelantikan Muhammad sebagai rasul. Nampaknya semuanya sepakat bahwa membaca adalah pintu dari ilmu. Allah menegaskan dalam Surat Al-Mujadillah ayat 11, bahwa orang yang beriman dan berilmu akan diangkat posisinya beberapa derajat.

Terlalu banyak ayat dan hadits lain yang menjelaskan posisi ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Buku ini tidak bermaksud mendiskusikan dengan sangat detil.

 http://menjadidosen.wordpress.com

Comments

Popular posts from this blog