Surga di bawah telapak kaki ibu
Surga di bawah telapak kaki ibu
Ungkapan yang sungguh indah. Tak cukup lirik-lirik lagu dan prosa menjelaskan betapa agung seorang ibu. Mengutip lirik lagu dari vidi aldiano,
“kita lahir, bunda yang menyabung nyawa
kita pergi menuntut ilmu, bunda yang mendo’a selalu
Kita dewasa, tak berkurang kasih sayangnya
Tapi betapa kita sering lupa berterima kasih pada bunda”
Ungkapan yang menggambarkan keikhlasan ibu demi memperjuangkan kita melihat dunia. Beliau menanti dengan perasaan berdebar, lalu segenap kekuatan mendorong kita keluar, dan sebuah senyum…ya, sebuah senyum, hanya demi melihat kita menangis berdarah-darah. Tak dipedulikannya tubuhnya yang bersimbah peluh, ragaya yang penat, dan berapa liter darah beliau yang keluar. Karena tahu, melahirkan itu adalah sebuah jihad bagi perempuan. Banyak sudah cerita tentang perjuangan agung seorang ibu demi melahirkan anaknya, mulai dari yang akhirnya lumpuh sewaktu melahirkan ankanya hingga akhirnya bunda yang merelakan nyawanya sendiri demi melihat kita hidup di dunia.
Tapi bagaimanakah jika seorang ibu tak pernah ikhlas melahirkan anaknya karena setan telah berhasil menghasutnya memakan buah khuldi dunia dan akhirnya buah itu tumbuh dalam rahimnya. Menjadi jabang bayi yang sangat tidak dinantinya. Setiap detik selalu gelisah. Ketika lahirpun dia tak segan membungkus bayinya dengan kain seadanya, bahkan ada yang belum sempat terpotong tali plasentanya. Bukan sebuah tempat tidur yang nyaman dan hangat, tetapi kardus mie instan tempat dia meletakkan, atau bahkan sebuah kantong plastik hitam yang panas dan pengap. Lalu meletakkannya di depan teras rumah orang lain, di teras panti-panti asuhan, atau tempat yang lebih kejam semacam tempat sampah hingga menghanyutkannya di sungai. Benarkah dia juga memiliki sebuah ‘surga’ di telapak kakinya? Benarkah kakinya cukup agung untuk dicium anak-anaknya kelak?
“kita lahir, bunda yang menyabung nyawa
kita pergi menuntut ilmu, bunda yang mendo’a selalu
Kita dewasa, tak berkurang kasih sayangnya
Tapi betapa kita sering lupa berterima kasih pada bunda”
Ungkapan yang menggambarkan keikhlasan ibu demi memperjuangkan kita melihat dunia. Beliau menanti dengan perasaan berdebar, lalu segenap kekuatan mendorong kita keluar, dan sebuah senyum…ya, sebuah senyum, hanya demi melihat kita menangis berdarah-darah. Tak dipedulikannya tubuhnya yang bersimbah peluh, ragaya yang penat, dan berapa liter darah beliau yang keluar. Karena tahu, melahirkan itu adalah sebuah jihad bagi perempuan. Banyak sudah cerita tentang perjuangan agung seorang ibu demi melahirkan anaknya, mulai dari yang akhirnya lumpuh sewaktu melahirkan ankanya hingga akhirnya bunda yang merelakan nyawanya sendiri demi melihat kita hidup di dunia.
Tapi bagaimanakah jika seorang ibu tak pernah ikhlas melahirkan anaknya karena setan telah berhasil menghasutnya memakan buah khuldi dunia dan akhirnya buah itu tumbuh dalam rahimnya. Menjadi jabang bayi yang sangat tidak dinantinya. Setiap detik selalu gelisah. Ketika lahirpun dia tak segan membungkus bayinya dengan kain seadanya, bahkan ada yang belum sempat terpotong tali plasentanya. Bukan sebuah tempat tidur yang nyaman dan hangat, tetapi kardus mie instan tempat dia meletakkan, atau bahkan sebuah kantong plastik hitam yang panas dan pengap. Lalu meletakkannya di depan teras rumah orang lain, di teras panti-panti asuhan, atau tempat yang lebih kejam semacam tempat sampah hingga menghanyutkannya di sungai. Benarkah dia juga memiliki sebuah ‘surga’ di telapak kakinya? Benarkah kakinya cukup agung untuk dicium anak-anaknya kelak?
Comments
Post a Comment