ULUL ALBAB (orang yang berakal dan berfikir)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluq lain, ini semua dikarenakan manusia dibekali potensi yang luar biasa yaitu berupa akal, akal juga yang membedakan manusia dari mahluk Allah yang lain, keintlektualan dan bentuk jasad sempurna yang dianugrahkan Allah kepadanya. Sehingga manusia mampu berfikir dan memungkinkan pula baginya untuk mengamati, menganalisis apa-apa yang di ciptakan Allah di alam bumi ini. Kemampuan manusia untuk berfikir inilah yang menjadikannya sebagai makhlukNYA yang diberi amanat untuk dapat beribadah kepadaNYA serta diberi tanggung jawab dengan segala pilihan dan keinginan. Akal pula yang menjadikan manusia terpilih untuk menjadi khalifah di muka bumi ini dan berkewajiban untuk membangunnya dengan sebaik-baiknya.
Dalam diri manusia terdapat dua daya sekaligus, yaitu daya fikir yang berpusat di kepala dan daya rasa (qalbu) yang berpusat di dada. Untuk mengembangkan daya ini telah ditata sedemikian rupa oleh Islam, misalnya untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan dengan cara beribadah seperti sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain dan untuk mempertajam daya fikir perlu arahan ayat kauniyah yakni ayat-ayat mengenai visi cosmos yang menganalisa dan menyimpulkan yang melahirkan gagasan inovatif demi pengembangan peradaban manusia sebagai kholifah di muka bumi.
Sesuatu yang sangat agung dari petunjuk al-Qur’an, berkenaan dengan visi pemikiran dan ilmu pengetahuan, adalah bahwa al-Qur’an memberi penghargaan terhadap ulul albab dan kaum cendikiawan, atau kaum intlektual.Allah memuji mereka dalam banyak ayat dalam surat-surat Makiyah dan Madaniyah. Term ulul albab atau Ulil albab terulang dalam al-Qur’an sebanyak 16 kali. Sembilan diantaranya terdapat dalam al-Qur’an Makiyah dan tujuh lainnya terdapat dalam al-Qur’an Madani.
Al-Qur’an mengekspos keluhuran orang yang beriman dan berilmu sebagai hamba-hamba Allah yang memiliki kedudukan tinggi. Bahkan, diberi gelar khusus untuk mereka yang memiliki kedudukan ini, yang mampu mendayagunakan anugrah Allah (potensi akal,kalbu, dan nafsu) pada sebuah panggilan, yaitu ulul albab. Allah tidak menafikan potensi yang dianugrahkan oleh-NYA kepada manusia agar tidak tergiur dan terpesona oleh hasil dirinya sendiri, sehingga keterpesonaan itu membuat dirinya menjadi hamba dunia, karena kecintaan yang berlebihan pada dunia.
Sejalan dengan kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki oleh manusia yang dirahmatkan sang khaliq tersebut, maka manusia harus bisa memposisikan diri sebagai mahluk yang tidak hanya memikirkan atau peduli terhadap dirinya sendiri, tetapi harus senantiasa peduli dan peka terhadap keberadaan sekelilingnya, sehingga potensi fikir dan dzikir senantiasa menyelimuti aktifitasnya sehari-hari sebagai bahwa manusia adalah tidak hanya sebagai mahluk Allah yang paling sempurna tetapi juga sebagai keharusan untuk menuju insan kamil yang di dalam al-Qur’an sering disebut dengan istilah ulul albab. 
B.     Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah diatas, penulis kemudian merumusakan tiga rumusan masalah:
1.      Bagaimana pengertian Ulil Albab.
2.      Bagaimana ciri-ciri Ulil Albab.
3.  Bagaimana peran Ulil Albab dalam perkembangan kebudayaan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian 
Kata Ulil Albab dalam pengertian secara sederhana sering diartikan sebagai orang yang Berakal atau orang yang berfikir. Pengertian ini tidak salah kalau kita tinjau dari sudut istilah bahasa Indonesia. Akan tetapi, mungkin sudah waktunya kita memahami dan mendalami dengan lebih mendalam dan lebih spesifik lagi. Sehingga kita dapat merenungi secara seksama arti kata ulil albab. Sehingga setiap kita membaca ayat suci Al-Qur’an akan menjadi lebih menghayati lagi makna yang terkandung di dalam hati kita.Mari kita lihat beberapa surat di dalam Alqur'an yang mengandung kata Ulil Albab.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)

Menurut A.M. Saefudin, bahwa ulul albab adalah pemikir intlektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiyah dengan metode ilmiah induktif dan deduktif, serta intlektual yang membangun kepribadian dengan dzikir dalam keadaan dan sarana ilmiah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat manusia. 
ulul 
Dalam kitab-kitab terjemahan al-Qur'an, kata Ulil Albab seringkali dimaknai dengan "orang-orang yang berakal atau berpikir", karena merujuk pada kalimat di dalam Surat Ali Imran ayat 191, "dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Kemudian banyak yang menafsirkan bahwa "orang-orang yang berpikir" tersebut adalah para cendekiawan adalah seorang pemikir atau seorang ilmuwan. Apakah setiap orang yang melakukan aktivitas berpikir seperti mereka otomatis termasuk di dalam golongan Ulil Albab? Jawabannya adalah belum tentu, karena dalam ayat diatas sudah dipaparkan dengan begitu jelas, bahwa definisi dari Ulil Albab adalah meliputi semua yang tertulis seperti berikut

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."

Dalam uraian di atas dapat kita lihat bahwa sebelum melakukan aktivitas berpikir, seseorang akan dikatakan sebagai Ulil Albab jika ia telah mampu melaksanakan kegiatan dzikir dalam artian selalu mengingat Allah dalam segala kondisi. Baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring bahkan pada saat sedang berpikir, dirinya tidak pernah terlepas dari dzikir.

Kita telah mengetahui dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena dikaruniai oleh Allah berupa akal pikiran, punya nalar untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi, jika kata ulil albab dipahami hanya sebagai ‘orang-orang yang berpikir’ seperti ayat di atas sangatlah tidak tepat, karena tidak semua orang dari kita yang berakal ini, mampu mengambil pelajaran dari kisah para nabi.

Pada kisah Nabi Ibrahim, misalnya, bagaimana mungkin Beliau tega untuk membawa, dan kemudian meninggalkan istrinya Siti Hajar r.a. yang baru melahirkan Ismail as, dan Ismail as sendiri ketika itu masih seorang bayi merah, di tengah padang pasir mekkah yang tandus, tanpa bekal dan tanpa air, selama sebelas tahun lamanya? Sementara Nabi Ibrahim sendiri setelah itu justru pulang ke istrinya yang lain, Siti Sarah r.a., dan baru kembali menyusul mereka sebelas tahun kemudian. Tindakan beliau seakan-akan sangat tidak berperi kemanusiaan dan jelas melanggar HAM. Walaupun pada akhirnya, dalam kehausan yang amat sangat, Ismail kecil menendang-nendang pasir dan muncullah dari sana sumber air zamzam. Siti Hajar yang berlari bolak-balik ke sana kemari mencari air antara bukit Shafa dan Marwa, hingga sekarang diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji. Baru bertahun-tahun kemudian Ibrahim a.s datang kembali ke tempat itu, untuk membangun Ka’bah bersama Ismail dan Hajar. Berabad-abad kemudian, tempat itu menjadi sebuah kota bernama Mekkah.

Berdasarkan keterangan diatas, jika kita manusia yang sudah memiliki akal, tapi masih bingung dengan takdir kita yang mungkin tidak menyenangkan, dengan musibah, dengan makna hidup, dengan perilaku para Nabi yang tidak sesuai dengan kehendak kita, bingung dengan kehidupan, bingung kenapa harus ada bencana, atau tidak mampu memahami ayat-ayat mutasyabihaat dalam al-Qur’an, artinya kita memang berakal, tapi belum termasuk ke dalam golongan yang ulil albab

B.     Ciri-ciri Ulil Albab
Adapun ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Qur’an adalah:
1.    Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan.
Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. 
"Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).
Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang menunjukan tanda-tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Ilahy, ulul albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya.
Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi. Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat Allah semakin bertambah.
 "Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Jika kamu mengingkari (nikmat- Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih" (QS, Ibrahim, 7).
Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi.
 "Jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuruu langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (teknologi)" (QS, Ar-Rahman, 33).

2. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.
 
Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang.
"Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100)
Dalam masyarakat, Ulul Albab tampil bagai seorang "nabi". Ia tidak hanya asyik dalam acara ritual atau tenggelam dalam perpustakan; sebaliknya tampil dihadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidakberesan yang terjadi di tengah- tengah masyarakat, memberikan peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.

3. Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain.
 
Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu mengecek kebenarannya. 
"Yang mengikuti perkataan lalu mengikuti yang paling baik dan benar, mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah ulul albab" (QS, Az-Zumar, 18).

4. Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu.
 
Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.

Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat persiapan untuk menyambut kemungkinan- kemungkinan yang bakal terjadi.

Sampai pada ciri-ciri ini, ulul albab tidak ada bedanya dengan intelektual yang lain. Tapi bila dilanjutkan, maka ada nilai tambah yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh seorang intelektual biasa.

5. Rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk dihadapan Allah swt.

Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi. Ulul Albab sangat "dekat" dengan Tuhannya. "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Tuhannya. Katakanlah: 'Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?'. Sesungguhnya, hanya ulul albab yang dapat menerima pelajaran" (QS, Az-Zumar, 9).

6. Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata.
 
Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. 
Ia dapat digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan nafsu angkara murkanya.
Dengan demikian, ulul albab bukan sekedar ilmuwan atau intelektual. Dalam diri ulul albab terpadu sifat ilmuwan, sifat intelektual dan sekaligus sifat orang yang dekat dengan Allah. Dalam dunia pendidikan dewasa ini, kita sangat mengharapkan perguruan tinggi mampu mencetak sosol sarjana yang mempunyai kemampuan keilmuan dan kepribadian seperti itu. Seorang sarjana yang benar-benar, bukan hanya sekedar sarjana.

C.    Peranan Ulil Albab dalam Kebudayaan Islam
Pada masa awal perkembangan Islam, sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun ayat al-Quran yang pertama kali turun dengan jelas meletakkan fondasi yang kokoh atas pengembangan ilmu dan pemikiran dalam Islam. 
Atas pemikiran di atas Ahmad Syaifuddin menyatakan lebih lanjut bahwa untuk keperluan itu manusia menuntut adanya suatu sistem yang dikenal dengan istilah “pendidikan”. Dengan demikian, diharapkan manusia terutama muslim dapat menggunakan akalnya secara luas dan benar sesuai dengan konstitusi Islam. Logikanya jika seorang muslin dapat berfikir sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Al-Hadits, ia disebut Ulul Albab, yaitu manusia yang selalu menggunakan fikiran dan hati.
Dengan demikian, Ulul Albab merupakan suatu istilah Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang ditujukan kepada manusia muslim yang sudah belajar banyak tentang ilmu-ilmu yang diturunkan oleh Allah swt, baik dalam teks-teks, kedua sumber ajaran Islam itu maupun “ayat-ayat” Allah swt yang ada di dalam alam semesta (kawniyah), dalam al-Qur’an misalnya : dinyatakan bahwa Ulul Albab ialah orang selalu mengingat Allah swt dalam keadaan berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi.
Menyadari pentingnya pendidikan, pembinaan potensi manusia menjadi tanggungjawab bersama. Tanggungjawab ini didasarkan atas motivasi dan cinta kasih yang pada hakikatnya dijiwai oleh tanggungjawab moral. Secara sadar seorang pendidik harus dapat mengembangkan kewajiban untuk membina dan memelihara anak sampai ia mampu berdiri sendiri. Sebagaimana yang diharapkan oleh pendidikan Islam yaitu menciptakan manusia yang bertaqwa kepada Allah swt.
Dalam hal ini, ilmu dan imam manjadi sumber orisinil pendidikan Islam yang sejalan dengan tuntutan kehidupan modern sekarang ini. Modernitas manusia zaman sekarang harus membuka diri kepada cita-cita hidup yang berkembang, yang membawa ketinggian martabat hidup di dunia dan yang membuka pintu yang luas untuk persiapan kehidupan akhirat.
Dalam kaitan antara pendidikan Islam dan hal-hal yang menyangkut penerapan moral atau akhlak, dalam hal ini yang terangkum dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad saw, kita akan menemukan permasalahan-permasalahan itu dalam permasalahan atau pembahasan yang selalu digeluti oleh Ulama Besar Hujjatul Islam, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau lebih kita kenal dengan nama Imam Al-Ghazali. Beliau adalah contoh umat Islam yang tidak sedikit waktunya dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan dan penelaahan-penelaahan yang masih ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang ada di dalam al-Qur’an, terutama dalam bidang pendidikan. Wawasan keilmuannya yang sedemikian luas dan mendalam serta sikap hidupnya sebagai hamba Allah swt yang konsisten terbaca dalam karangan-karangannya serta transparan dalam pola perilakunya sehari-hari.
Sistem pendidikan merupakan rangkaian dari sistem-sistem atau unsur-unsur pendidikan yang saling terkait dalam mewujudkan keberhasilannya. Ada tujuan, kurikulum, materi, metode, pendidik, peserta didik, sarana, alat, pendekatan dan sebagainya. Keberadaan satu unsur membutuhkan keberadaan unsur yang lain, tanpa keberadaan salah satu diantara unsur-unsur, pross pendidikn menjadi terhalang, sehingga mengalami kegagalan. Proses pendidikan tidak hanya ada tujuan pendidikannya, maka pendidikan tidak bisa berjalan. Ketika satu unsur dominan mendapat pengaruh tertentu, pada saat yang bersamaan unsur-unsur lain menjadi terpengaruh karena suatu pengaruh tujuan pendidikan diarahkan pada suatu aksentuasi tertentu. Maka materi, metode, sarana, pendidik, peserta didik dan unsur lainnya menyesuaikan.
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu: sudut pandang individu dan sudut pandang masyarakat. Dari sudut pandang pertama, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi individu, sedangkan menurut pandangan kedua, pendidikan adalah usaha untuk mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut terus hidup dan berlanjut di masyarakat. Karena itu pendidikan merupakan aktifitas yang sudah terprogram dalam suatu sistem. Adapun perbedaan dalam setiap sistem pendidikan, tampaknya ikut dipengaruhi oleh cara pandang dari setiap masyarakat, kelompok atau bangsa masing-masing. Cara pandang ini erat kaitannya dengan latar belakang filsafat atau pandangan hidup mereka.
Gambaran tentang rangkaian pengertian dan ruang lingkup yang mendasari konsep pendidikan Islam, secara garis besarnya Imam Al-Ghazali dalam pendidikan Islam menyangkut 3 faktor utama, yaitu:
a.       Hakikat penciptaan manusia, yaitu: agar manusia menjadi pengabdi Allah swt yang taat dan setia.
b.      Peran dan tanggungjawab manusia sejalan dengan statusnya selaku abdi Allah, al-Basyr, al-Insan, al-Nas, Bani Adam maupun khalifah Allah swt.
c.       Tugas utama Rasul yaitu: membentuk akhlak yang mulia serta memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Ketiga faktor di atas merupakan dasar berpijak bagi perumusan pendidikan Islam secara umum. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya dengan berpedoman kepada syari’at Islam yang disampaikan oleh Rasul Allah swt agar supaya manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah swt yang setia dengan segala aktifitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang adil, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta memperoleh jaminan hidup di dunia dan jaminan bagi kehidupan yang baik di akhirat.

Comments

Popular posts from this blog