Makna Hadith “Setiap Anak Tergadaikan pada Aqiqahnya”

ilustrasi bayi © flexmedia.co.id
ilustrasi bayi © flexmedia.co.id

Dalam hadits shahih disebutkan bahawa “setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya.” Bagaimana maksud hadits ini? Apakah jika anak kita sampai sekarang belum diaqiqahi ia seperti orang yang belum merdeka kerana tergadai? Mohon penjelasannya.

 
Hadits shahih yang dimaksud adalah hadits ini:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama” (HR. Ibnu Majah; shahih)

Untuk dapat memahami makna hadits tersebut secara tepat, mari kita lihat penjelasan para ulama.

Imam Ahmad menjelaskan, hadits ini berkaitan dengan syafaat. “Ini terkait dengan masalah syafa’at,” kata beliau seperti dikutip Al Khathabi. “Maksudnya, apabila orangtua tidak melaksanakan aqiqah anaknya, kemudian si anak meninggal dunia waktu kecil, ia tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orangtuanya.”

Atha’ Al Khurasani berpendapat serupa. Ketika Yahya bin Hamzah bertanya tentang maksud “setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya” beliau menjawab: “Orang tua tidak mendapatkan syafaat dari anaknya”

Mulla Ali Al Qari memiliki pendapat berbeza. Menurutnya “setiap anak tergadaikan pada aqiqahnya” berkaitan dengan keselamatan anak itu sendiri. “Keselamatan anak tersebut dari bencana tergantung pada aqiqahnya,” kata beliau. Namun, beliau juga mengamini pendapat bahwa hadits ini terkait dengan syafaat. Jika orang tua tidak mengaqiqahi anaknya dan anak itu meninggal di waktu kecil, maka anak tersebut tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orangtuanya.

Dalam kitab Syarhus Sunnah disimpulkan, “Para ulama banyak membahas persoalan ini. Penjelasan terbaik adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal bahawa jika seorang anak meninggal dunia dan belum pernah diaqiqahi, si anak tersebut tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.”
Ath Thayyibi menambahkan, “Dapat dipastikan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak berpendapat demikian kecuali setelah mendapatkannya dari para sahabat dan tabi’in.”

Jadi, bukan anaknya yang belum merdeka, tetapi karena aqiqah adalah kewajiban orang tua, maka orang tua tidak mendapatkan kemanfaatan yang sempurna (berupa syafaat jika anak itu meninggal di waktu kecil) kecuali ia menebusnya dengan aqiqah. Menurut jumhur ulama hukum aqiqah ini adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat direkomendasikan). Menurut pendapat ulama zhahiriyah, aqiqah hukumnya wajib dilaksanakan oleh orangtua si bayi. Sedangkan pendapat ketiga yang dipelopori oleh Al Laits bin Sa’d adalah aqiqah wajib pada hari ketujuh, dan kewajiban itu gugur jika hari ketujuh berlalu. Sehingga orangtua yang tidak dapat mengaqiqahi anaknya pada hari ketujuh (karena tidak mampu), maka ia tidak wajib mengaqiqahi di hari atau bulan atau tahun-tahun berikutnya meskipun ia menjadi kaya pada saat itu. Wallahu a’lam bish shawab. [Keluargacinta.com] 

Comments

Popular posts from this blog