Mencari Ilmu yang Allah SWT redhai disaat peluang masih terbukaby peribadirasulullah |
Ketahuilah,
wahai saudaraku… Bahwa bermanfaat atau tidaknya ilmu seseorang pada
dirinya sendiri, dilihat dari KUALITAS AMALAN hati dan anggota badannya…
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(Faathir: 28)
Allah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ
يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن
كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا . وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ
يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Sesungguhnya
orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji
Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka
sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.
(al Isra’ 107-109)
Berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib radhiyallahu ‘anhu:
“Seorang
yang benar-benar faqih adalah yang tidak membuat manusia putus asa dari
rahmat Allah, tidak memberi mereka rukhshah (keringanan) hingga
tergelincir pada kemaksiatan kepada Allah, tidak membuat mereka merasa
aman dari adzab Allah, dan tidak meninggalkan Al Qur`an karena
membencinya (kemudian) beralih ke lainnya.
Sesungguhnya
tiada kebaikan dalam ibadah tanpa didasari ilmu padanya, tiada kebaikan
ilmu yang tanpa adanya kepahaman (yang benar) padanya, serta tiada
kebaikan pada bacaan (al qur-aan) yang tiada tadabbur (usaha melakukan
perenungan) padanya”.
Berkata Mujahid rahimahullah, beliau adalah ahli tafsir dikalangan tabi’in:
“Seorang yang faqiih (mendalam ilmunya) hanyalah yang takut kepada Allah”.
Imam ad Daarimiy dalam muqaddimah sunan-nya berkata:
“Baab: Ilmu adalah takut dan taqwa kepada Allah”
(Lihat sunan ad daarimiy)
Abdul A’la At Taimi rahimahullah berkata:
‘Barangsiapa
yang dianugerahi ilmu, tapi ilmunya tidak membuatnya menangis kepada
Allah, berarti ia mendapatkan ilmu yang tidak bermanfaat… karena Allah
mensifati para ulama, (kemudian ia membaca -Qs. Al Isra`: 107-109
diatas)”
(atsar riwayat ad daarimiy)
Al Hasan al bashriy berkata:
‘Jika
seorang lelaki serius mencari ilmu, maka pengaruhnya senantiasa nampak
pada pandangan (matanya), kekhusyu’an, lisan, tangan, shalat dan
kezuhudannya.’
(ad-Darimiy)
beliau juga berkkata:
“Ilmu
itu ada dua, yaitu ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat dan
ilmu yang ada di lisan, itulah hujjah Allah atas Ibnu Adam (manusia) ".
(ad-Darimiy)
Maka bermanfaat atau tidaknya ilmu seseorang, tergantung seberapa besar ilmu yang dimilikinya, yang diserap dalam hatinya…
Apabila
ilmunya banyak, tapi yang diserap hatinya hanya sedikit; maka yang
dinilai “ilmu” atau “hakikat ilmu” yang dimilikinya hanyalah ilmu yang
diserap hatinya tersebut..
Karena
apabila ilmu tersebut diserap hatinya, maka akan berdampak pada anggota
badannya.. kalaupun anggota badannya menyelisihi apa yang ada dalam
hatinya, paling tidak hatinya mengingkari apa yang diperbuat anggota
badannya..
Contoh:
Seseorang
yang BERILMU bahwa memandang ajnabiyyah (wanita non mahram) adalah
haram, dan BERILMU bahwa tindakan tersebut termasuk larangan Allah
“janganlah engkau mendekati zina”, atau bahkan disebut “zina mata” oleh
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam..
Maka
semakin sempurna ilmunya akan hal ini, maka hatinya akan semakin
membenci perbuatan tersebut, dan juga anggota badannya –jangankan
mengamalkan– terhadap sarana-sarana yang menyebabkan terjatuh kedalamnya
pun ia menjauhkan diri.. Inilah orang yang sempurna keilmuannya dalam
hal ini..
Tapi
ada yang berilmu tentang hal ini, akan tetapi hatinya tidak menyerap
ilmu ini KECUALI SEDIKIT.. Dalam artian, ada sedikit yang diserap
hatinya tentang ilmu ini.. Oleh karenanya, walaupun ia TAHU hal ini
haram, namun ia mendapati dirinya jatuh kedalam perkara yang ia ketahui
haram tersebut.. hal ini disebabkan lemahnya ilmu yang ada dalam
dirinya.. karena sedikitnya ilmu yang diserap hatinya..
Tapi
tahukah kita? bahwa SEDIKITnya ilmu yang ada dalam hatinya ini masih
bermanfaat baginya.. apa manfaatnya? yaitu hatinya MASIH MENGINGKARI apa
yang ia perbuat… didalam hatinya ia TAHU HAL INI HARAM.. hanya saja ia
mengikuti hawa nafsunya, sehingga menyelisihi apa yang diingkari
hatinya…
Disinilah
pentingnya ilmu… lihatlah para pengikut hawa nafsu yang BODOH, yang
jauh dari ilmu.. ketika mereka berbuat suatu maksiat, yang mereka tidak
tahu bahwa itu adalah maksiat.. adakah hati mereka mengingkari? tidak..
karena TIDAK ADANYA ILMU didalam hatinya.. kalaulah ia TAHU, dan ilmu
tersebut terserap kedalam hatinya, maka PASTI hati tersebut akan
mengingkari perbuatannya..
Benarlah perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma’ruf dan mungkar.”
Itulah
yang membedakan PENGIKUT HAWA NAFSU dan PENYEMBAH HAWA NAFSU.. tidak
setiap pengikut hawa nafsu itu penyembah hawa nafsu.. karena diantara
pengikut hawa nafsu, mereka didalam hatinya masih terdapat keimanan,
meskipun sangat sangat kecil, sehingga hatinya masih ingkar terhadap apa
yang ia perbuat.. Tapi penyembah hawa nafsu, meskipun akal mereka tahu
bahwa ini ma’ruf dan ini mungkar, tapi hati mereka tidak meridhai
(membenci) yang ma’ruf serta tidak mengingkari yang mungkar, bahkan
mencintainya..
Maka
alangkah sangat tercela, orang-orang yang TAHU akan sebuah ilmu, akan
tetapi TIDAK ADA SEDIKITPUN ilmu yang terserap dalam hatinya… ia sudah
TAHU, tapi HATInya sama sekali tidak menyerapnya.. sehingga ketika ia
bermaksiat, dan ia tahu itu melakukan maksiat, tapi hatinya tidak
mengingkari.. Maka itulah hati yang sudah tidak ada lagi iman
didalamnya..
dari
Abu Ad Darda’ radhiyallaahu ‘anhu dia berkata; Ketika kami bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menengadahkan
pandangannya ke langit kemudian berkata;
هَذَا أَوَانُ يُخْتَلَسُ الْعِلْمُ مِنْ النَّاسِ حَتَّى لَا يَقْدِرُوا مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ
“Inilah saatnya ilmu dicabut dari manusia sehingga mereka tidak mampu mengetahui darinya sama sekali”,
Maka Ziyad bin Labid Al Anshari bertanya;
‘Bagaimana
ilmu dicabut dari kami, padahal kami membaca Al Qur’an? Demi Allah,
kami pasti akan membacanya dan membacakannya kepada istri-istri dan
anak-anak kami.’
—dalam riwayat lain, riwayat ibn maajah–
“Wahai
Rasulullah, bagaimana ilmu bisa hilang? Sedangkan kami masih membaca Al
Qur’an dan kami juga membacakannya (mengajarkannya) kepada anak-anak
kami, dan anak-anak kami juga akan membacakannya kepada keturunannya
sampai hari kiamat datang.”
–selesai petikan–
Maka beliau berkata:
ثَكِلَتْكَ
أُمُّكَ يَا زِيَادُ إِنْ كُنْتُ لَأَعُدُّكَ مِنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ هَذِهِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ عِنْدَ الْيَهُودِ
وَالنَّصَارَى فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ
“alangkah
malangnya dirimu wahai Ziyad, sesungguhnya aku menganggapmu termasuk
orang yang faqih di Madinah, inilah kitab Taurat dan Injil milik Yahudi
dan Nashrani maka apakah bermanfaat bagi mereka?!”
—dalam riwayat ibn maajah disebutkan–
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ زِيَادُ إِنْ كُنْتُ لَأَرَاكَ مِنْ أَفْقَهِ رَجُلٍ بِالْمَدِينَةِ
“alangkah malangnya dirimu wahai Ziyad, padahal aku melihatmu adalah orang yang paling memahami agama di Madinah ini!”
أَوَلَيْسَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ لَا يَعْمَلُونَ بِشَيْءٍ مِمَّا فِيهِمَا
“Bukankah
orang-orang Yahudi dan Nashrani juga membaca Taurat dan Injil, namun
mereka tidak mengamalkan sedikitpun apa yang terkandung di dalamnya.”
(HR Tirmidziy, Ibnu Maajah, dan selainnya; dishahiihkan oleh Syaikh al-albaaniy dalam shahiih at tirmidziy)
Demikianlah
Yahudi dan Nashara, mereka membaca taurat dan injil, tapi bacaan mereka
tidaklah memberi manfaat sedikitpun pada mereka.
Allah berfirman tentang mereka:
مَثَلُ
الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ
الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada
memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.
Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
(Al-Jumu’ah: 5)
Keledai
itu adalah binatang yang sangat bodoh, ia memikul sesuatu, dan ia
sendiri tidak tahu tentang apa yang dipikulnya. Maka dalam ayat diatas,
Allah mencela orang-orang yahudi yang memikul kitab yang Allah berikan
kepada mereka, mereka membacanya, tapi mereka tidak memahami apa yang
ada didalamnya… Mereka ini pada hakikatnya lebih jelek daripada keledai,
keledai memang tidak memiliki akal, akan tetapi mereka Allah berikan
akal dan hati, namun mereka tidak menggunakannya..
Dalam ayat lain, Allah berfirman tentang ahli kitab:
أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al-Hadid: 16)
Akan tetapi secara kenyataan sebagian -bahkan kebanyakan- kaum muslimin mengikuti jejak ahli kitab ini…
Bahkan
disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang sifat-sifat
orang yang sesat dalam umat ini (khususnya khawarij) :
لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
Mereka
membaca Al Qur’an, tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka
melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah
menembus binatang buruannya.
(HR Bukhariy dan Muslim)
Dalam riwayat lain:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
Mereka
membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah
(hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas
mereka.
(HR. Muslim)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata :
“Imam
An Nawawi berkata : “Yang dimaksud adalah mereka tidak mendapat bagian
kecuali hanya melewati lidah mereka saja dan tidak sampai kepada
kerongkongan mereka, terlebih lagi hati-hati mereka.
Padahal
yang dimaukan adalah mentadabburinya [memperhatikan, memahaminya dengan
pemahaman yang benar (pemahaman shahabat)], dan merenungkannya dengan
teliti agar sampai ke hati”.”
(Fathul Bari : 12/293)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
“Oleh
karena itu, Ahli Qur’an adalah orang-orang yang memahaminya, dan
mengamalkan apa yang ada di dalamnya sekalipun mereka tidak menghapalnya
di luar kepala.
Adapun
orang yang hapal tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkan isinya,
maka ia tidak termasuk Ahli Qur’an, sekalipun ia menegakkan hurufnya
seperti meluruskan anak panah.
adapun
sebatas membaca tanpa pemahaman dan tadabbur, itu dilakukan oleh orang
yang baik, yang fajir, yang mukmin maupun orang munafik”.
(Kitab, Adh-Dhow-ul Munir ‘ala At Tafsir : 1/13, 14)
Semoga bermanfaat
Comments
Post a Comment