Mencari Ilmu yang Allah SWT redhai disaat peluang masih terbuka

by peribadirasulullah
http://peribadirasulullah.files.wordpress.com/2014/01/92a16-013.jpg?w=394
Ketahuilah, wahai saudaraku… Bahwa bermanfaat atau tidaknya ilmu seseorang pada dirinya sendiri, dilihat dari KUALITAS AMALAN hati dan anggota badannya…
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(Faathir: 28)

Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا . وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا . وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.
(al Isra’ 107-109)

Berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib radhiyallahu ‘anhu:
“Seorang yang benar-benar faqih adalah yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak memberi mereka rukhshah (keringanan) hingga tergelincir pada kemaksiatan kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari adzab Allah, dan tidak meninggalkan Al Qur`an karena membencinya (kemudian) beralih ke lainnya.

Sesungguhnya tiada kebaikan dalam ibadah tanpa didasari ilmu padanya, tiada kebaikan ilmu yang tanpa adanya kepahaman (yang benar) padanya, serta tiada kebaikan pada bacaan (al qur-aan) yang tiada tadabbur (usaha melakukan perenungan) padanya”.

Berkata Mujahid rahimahullah, beliau adalah ahli tafsir dikalangan tabi’in:

“Seorang yang faqiih (mendalam ilmunya) hanyalah yang takut kepada Allah”.

Imam ad Daarimiy dalam muqaddimah sunan-nya berkata:

“Baab: Ilmu adalah takut dan taqwa kepada Allah”
(Lihat sunan ad daarimiy)

Abdul A’la At Taimi rahimahullah berkata:

‘Barangsiapa yang dianugerahi ilmu, tapi ilmunya tidak membuatnya menangis kepada Allah, berarti ia mendapatkan ilmu yang tidak bermanfaat… karena Allah mensifati para ulama, (kemudian ia membaca -Qs. Al Isra`: 107-109 diatas)”
(atsar riwayat ad daarimiy)

Al Hasan al bashriy berkata:

‘Jika seorang lelaki serius mencari ilmu, maka pengaruhnya senantiasa nampak pada pandangan (matanya), kekhusyu’an, lisan, tangan, shalat dan kezuhudannya.’
(ad-Darimiy)

beliau juga berkkata:
“Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang ada di lisan, itulah hujjah Allah atas Ibnu Adam (manusia) ".
(ad-Darimiy)

Maka bermanfaat atau tidaknya ilmu seseorang, tergantung seberapa besar ilmu yang dimilikinya, yang diserap dalam hatinya…
Apabila ilmunya banyak, tapi yang diserap hatinya hanya sedikit; maka yang dinilai “ilmu” atau “hakikat ilmu” yang dimilikinya hanyalah ilmu yang diserap hatinya tersebut..

Karena apabila ilmu tersebut diserap hatinya, maka akan berdampak pada anggota badannya.. kalaupun anggota badannya menyelisihi apa yang ada dalam hatinya, paling tidak hatinya mengingkari apa yang diperbuat anggota badannya..

Contoh:

Seseorang yang BERILMU bahwa memandang ajnabiyyah (wanita non mahram) adalah haram, dan BERILMU bahwa tindakan tersebut termasuk larangan Allah “janganlah engkau mendekati zina”, atau bahkan disebut “zina mata” oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam..

Maka semakin sempurna ilmunya akan hal ini, maka hatinya akan semakin membenci perbuatan tersebut, dan juga anggota badannya –jangankan mengamalkan– terhadap sarana-sarana yang menyebabkan terjatuh kedalamnya pun ia menjauhkan diri.. Inilah orang yang sempurna keilmuannya dalam hal ini..

Tapi ada yang berilmu tentang hal ini, akan tetapi hatinya tidak menyerap ilmu ini KECUALI SEDIKIT.. Dalam artian, ada sedikit yang diserap hatinya tentang ilmu ini.. Oleh karenanya, walaupun ia TAHU hal ini haram, namun ia mendapati dirinya jatuh kedalam perkara yang ia ketahui haram tersebut.. hal ini disebabkan lemahnya ilmu yang ada dalam dirinya.. karena sedikitnya ilmu yang diserap hatinya..

Tapi tahukah kita? bahwa SEDIKITnya ilmu yang ada dalam hatinya ini masih bermanfaat baginya.. apa manfaatnya? yaitu hatinya MASIH MENGINGKARI apa yang ia perbuat… didalam hatinya ia TAHU HAL INI HARAM.. hanya saja ia mengikuti hawa nafsunya, sehingga menyelisihi apa yang diingkari hatinya…

Disinilah pentingnya ilmu… lihatlah para pengikut hawa nafsu yang BODOH, yang jauh dari ilmu.. ketika mereka berbuat suatu maksiat, yang mereka tidak tahu bahwa itu adalah maksiat.. adakah hati mereka mengingkari? tidak.. karena TIDAK ADANYA ILMU didalam hatinya.. kalaulah ia TAHU, dan ilmu tersebut terserap kedalam hatinya, maka PASTI hati tersebut akan mengingkari perbuatannya..

Benarlah perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma’ruf dan mungkar.”

Itulah yang membedakan PENGIKUT HAWA NAFSU dan PENYEMBAH HAWA NAFSU.. tidak setiap pengikut hawa nafsu itu penyembah hawa nafsu.. karena diantara pengikut hawa nafsu, mereka didalam hatinya masih terdapat keimanan, meskipun sangat sangat kecil, sehingga hatinya masih ingkar terhadap apa yang ia perbuat.. Tapi penyembah hawa nafsu, meskipun akal mereka tahu bahwa ini ma’ruf dan ini mungkar, tapi hati mereka tidak meridhai (membenci) yang ma’ruf serta tidak mengingkari yang mungkar, bahkan mencintainya..

Maka alangkah sangat tercela, orang-orang yang TAHU akan sebuah ilmu, akan tetapi TIDAK ADA SEDIKITPUN ilmu yang terserap dalam hatinya… ia sudah TAHU, tapi HATInya sama sekali tidak menyerapnya.. sehingga ketika ia bermaksiat, dan ia tahu itu melakukan maksiat, tapi hatinya tidak mengingkari.. Maka itulah hati yang sudah tidak ada lagi iman didalamnya..

dari Abu Ad Darda’ radhiyallaahu ‘anhu dia berkata; Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menengadahkan pandangannya ke langit kemudian berkata;
هَذَا أَوَانُ يُخْتَلَسُ الْعِلْمُ مِنْ النَّاسِ حَتَّى لَا يَقْدِرُوا مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ
“Inilah saatnya ilmu dicabut dari manusia sehingga mereka tidak mampu mengetahui darinya sama sekali”,

Maka Ziyad bin Labid Al Anshari bertanya;
‘Bagaimana ilmu dicabut dari kami, padahal kami membaca Al Qur’an? Demi Allah, kami pasti akan membacanya dan membacakannya kepada istri-istri dan anak-anak kami.’

—dalam riwayat lain, riwayat ibn maajah–

“Wahai Rasulullah, bagaimana ilmu bisa hilang? Sedangkan kami masih membaca Al Qur’an dan kami juga membacakannya (mengajarkannya) kepada anak-anak kami, dan anak-anak kami juga akan membacakannya kepada keturunannya sampai hari kiamat datang.”
–selesai petikan–
Maka beliau berkata:
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا زِيَادُ إِنْ كُنْتُ لَأَعُدُّكَ مِنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَذِهِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ عِنْدَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ
“alangkah malangnya dirimu wahai Ziyad, sesungguhnya aku menganggapmu termasuk orang yang faqih di Madinah, inilah kitab Taurat dan Injil milik Yahudi dan Nashrani maka apakah bermanfaat bagi mereka?!”
—dalam riwayat ibn maajah disebutkan–
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ زِيَادُ إِنْ كُنْتُ لَأَرَاكَ مِنْ أَفْقَهِ رَجُلٍ بِالْمَدِينَةِ
“alangkah malangnya dirimu wahai Ziyad, padahal aku melihatmu adalah orang yang paling memahami agama di Madinah ini!”
أَوَلَيْسَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ لَا يَعْمَلُونَ بِشَيْءٍ مِمَّا فِيهِمَا
“Bukankah orang-orang Yahudi dan Nashrani juga membaca Taurat dan Injil, namun mereka tidak mengamalkan sedikitpun apa yang terkandung di dalamnya.”
(HR Tirmidziy, Ibnu Maajah, dan selainnya; dishahiihkan oleh Syaikh al-albaaniy dalam shahiih at tirmidziy)
Demikianlah Yahudi dan Nashara, mereka membaca taurat dan injil, tapi bacaan mereka tidaklah memberi manfaat sedikitpun pada mereka.
Allah berfirman tentang mereka:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
(Al-Jumu’ah: 5)

Keledai itu adalah binatang yang sangat bodoh, ia memikul sesuatu, dan ia sendiri tidak tahu tentang apa yang dipikulnya. Maka dalam ayat diatas, Allah mencela orang-orang yahudi yang memikul kitab yang Allah berikan kepada mereka, mereka membacanya, tapi mereka tidak memahami apa yang ada didalamnya… Mereka ini pada hakikatnya lebih jelek daripada keledai, keledai memang tidak memiliki akal, akan tetapi mereka Allah berikan akal dan hati, namun mereka tidak menggunakannya..
Dalam ayat lain, Allah berfirman tentang ahli kitab:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al-Hadid: 16)
Akan tetapi secara kenyataan sebagian -bahkan kebanyakan- kaum muslimin mengikuti jejak ahli kitab ini…
Bahkan disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang sifat-sifat orang yang sesat dalam umat ini (khususnya khawarij) :
لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
Mereka membaca Al Qur’an, tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah menembus binatang buruannya.
(HR Bukhariy dan Muslim)
Dalam riwayat lain:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ
Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka.
(HR. Muslim)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata :
“Imam An Nawawi berkata : “Yang dimaksud adalah mereka tidak mendapat bagian kecuali hanya melewati lidah mereka saja dan tidak sampai kepada kerongkongan mereka, terlebih lagi hati-hati mereka.
Padahal yang dimaukan adalah mentadabburinya [memperhatikan, memahaminya dengan pemahaman yang benar (pemahaman shahabat)], dan merenungkannya dengan teliti agar sampai ke hati”.”
(Fathul Bari : 12/293)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
“Oleh karena itu, Ahli Qur’an adalah orang-orang yang memahaminya, dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya sekalipun mereka tidak menghapalnya di luar kepala.
Adapun orang yang hapal tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkan isinya, maka ia tidak termasuk Ahli Qur’an, sekalipun ia menegakkan hurufnya seperti meluruskan anak panah.
adapun sebatas membaca tanpa pemahaman dan tadabbur, itu dilakukan oleh orang yang baik, yang fajir, yang mukmin maupun orang munafik”.
(Kitab, Adh-Dhow-ul Munir ‘ala At Tafsir : 1/13, 14)
Semoga bermanfaat

Comments

Popular posts from this blog