Oleh: Yhouga AM - 21 Disember 2010
Kematian merupakan persinggahan pertama manusia di alam akhirat. Al Qurthubiy berkata
dalam At Tadzkirah, “Kematian ialah terputusnya hubungan antara ruh dengan badan,
berpisahnya kaitan antara keduanya, bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri
ke negeri lainnya.” Yang dimaksud dengan kematian dalam pembahasan berikut ini adalah
al maut al kubra, sedangkan al maut ash shughraTa’ala berfirman yang artinya,
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah
Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)[1] sebagaimana dimaksud oleh para ulama, ialah
tidur. Allah
Orang yang Cerdas
Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya. Kemudian mempersiapkan
diri sebaik-baiknya demi tujuan tersebut. Maka, jika akhir kesempatan bagi manusia
untuk beramal adalah kematian, mengapa orang-orang yang cerdas tidak mempersiapkannya?
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar,
kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah
menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah
orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat
mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah
orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh
Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata: hadits hasan)[2]
Pemutus Segala Kelezatan Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan’,
yaitu kematian.” (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albaniy dalam Shahih An Nasa’iy 2/393
berkata : “hadits hasan shahih”) Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafizhahullah menjelaskan perihal hadits di atas,
“Dianjurkan bagi setiap muslim, baik yang sehat maupun yang sedang sakit, untuk
mengingat kematian dengan hati dan lisannya. Kemudian memperbanyak hal tersebut,
karena dzikrul maut (mengingat mati) dapat menghalangi dari berbuat maksiat, dan
mendorong untuk berbuat ketaatan. Hal ini dikarenakan kematian merupakan pemutus
kelezatan. Mengingat kematian juga akan melapangkan hati di kala sempit, dan
mempersempit hati di kala lapang. Oleh karena itu, dianjurkan untuk senantiasa dan terus
menerus mengingat kematian.”[3]
Dan Mereka pun Ingin Kembali
Sebaliknya orang-orang yang semasa hidupnya sangat sedikit mengingat mati, dari
kalangan orang-orang kafir dan mereka yang tidak menaati seruan para Rasul, akan
meminta tangguh dan udzur ketika bertemu dengan Rabb mereka kelak di akhirat. Inilah
penyesalan yang paling mendalam bagi manusia yang tidak mengingat kematian. “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu)
datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang dzalim: “Ya Rabb
kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu
yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti
rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu
(di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?” (QS. Ibrahim : 44) “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum
datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Wahai Rabb-ku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang shaleh? Dan Allah
sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu
kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun : 10-11) “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: “ Wahai Rabb-ku kembalikanlah aku (ke dunia).
Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.
Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (QS. Al Mu’minun : 99-100)[4] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy berkata mengenai ayat dalam Surat Al Mu’minun,
“Allah Ta’ala mengabarkan keadaan orang-orang yang berhadapan dengan kematian, dari kalangan
mufrithin (orang-orang yang bersikap meremehkan perintah Allah -pent) dan orang-orang yang zhalim.
Mereka menyesal dengan kondisinya ketika melihat harta mereka, buruknya amalan mereka, hingga
mereka meminta untuk kembali ke dunia. Bukan untuk bersenang-senang dengan kelezatannya,
atau memenuhi syahwat mereka. Akan tetapi mereka berkata, ‘Agar aku berbuat amal shaleh
terhadap apa yang telah aku tinggalkan’.” Beliau kembali menjelaskan, “Apa yang mereka
perbuat tidaklah bermanfaat sama sekali, melainkan hanya ada kerugian dan penyesalan. Pun
perkataan mereka bukanlah perkataan yang jujur, jika seandainya mereka dikembalikan lagi ke
dunia, niscaya mereka akan kembali melanggar perintah Allah.”[5]
Pendekkan Angan-Anganmu!
Sikap panjang angan-angan akan membuat seseorang malas beramal, mengira hidup dan umur
mereka panjang sehingga menunda-nunda dalam beramal shalih. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
membuat segi empat, kemudian membuat garis panjang hingga keluar dari persegi tersebut, dan
membuat garis-garis kecil dari samping menuju ke tengah. Kemudian beliau berkata, ‘Inilah
manusia, dan garis yang mengelilingi ini adalah ajalnya, dan garis yang keluar
ini adalah angan-angannya. Garis-garis kecil ini adalah musibah dalam hidupnya, jika
ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa
dengan ini.” (HR. Bukhari, lihat Fathul Bari I/236-235) Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak
Adam akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal: ambisi dan angan-angannya”[6] Oleh karena itu, di antara bentuk dzikrul maut adalah memperpendek angan-angan, dan
tidak menunda-nunda dalam beramal shalih. Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah
memegang pundak kedua pundakku seraya bersabda: “Jadilah engkau di dunia seakan-akan
orang asing atau pengembara“. Ibnu Umar berkata : “Jika kamu berada di sore hari jangan
tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu
untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Al-Bukhari, lihat Al Fath I/233)
Faktor-Faktor yang Dapat Mengingatkan Kematian
- Ziarah kubur, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berziarah kuburlah kalian
- sesungguhnya itu akan mengingatkan kalian pada akhirat” (HR. Ahmad dan Abu Daud
- dan dishahihkan oleh Al Albani)[7],
- mengunjungi mayit ketika dimandikan dan melihat proses pemandiannya,
- menyaksikan proses sakaratul maut dan membantu mentalqin,
- mengantar jenazah, menyolatkan, dan ikut menguburkannya,
- membaca Al Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan kepada kematian dan sakaratul maut. Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya” (QS. Qaaf : 19),
- merenungkan uban dan penyakit yang diderita, karena keduanya merupakan utusan malaikat maut
- kepada seorang hamba,
- merenungkan ayat-ayat kauniyah yang telah disebutkan Allah Ta’ala sebagai pengingat bagi
- hamba-hambaNya kepada kematian. Seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir,
- tanah longsor, badai, dan sebagainya,
- menelaah kisah-kisah orang maupun kaum terdahulu ketika menghadapi kematian, dan
- kaum yang didatangkan bala’ atas mereka.
Faidah Mengingat Kematian
Di antara faidah mengingat kematian adalah : (1) memotivasi untuk mempersiapkan diri sebelum
terjadinya kematian; (2) memendekkan angan-angan, karena panjang angan-angan merupakan
sebab utama kelalaian; (3) menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan ridha dengan bagian
dunia yang telah diraih walaupun sedikit; (4) sebagai motivasi berbuat ketaatan; (5) sebagai penghibur
seorang hamba tatkala memperoleh musibah dunia; (6) mencegah dari berlebih-lebihan dan
melampaui batas dalam menikmati kelezatan dunia; (7) memotivasi untuk segera bertaubat dan
memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; (8) melembutkan hati dan mengalirkan air mata,
mendorong semangat untuk beragama, dan mengekang hawa nafsu; (9) menjadikan diri tawadhu’
dan menjauhkan dari sikap sombong dan zhalim dan; (10) memotivasi untuk saling memaafkan
dan menerima udzur saudaranya.[8] [Yhouga AM]
_____________ [1] Al Qiyamah As Sughra, Syaikh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hal. 15-16 cet. Dar An Nafais
[2] Disebutkan dalam Kitab At Tazkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah, Imam Al Qurthubiy
dalam bab Dzikrul Maut wa Fadhluhu wal Isti’dadu lahu I/120, cet. Maktabah Dar Al Minhaj
[3] Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly, I/634 cet. Dar Ibnul
Jauziy
[4] Imam Nawawi berdalil dengan ayat-ayat tersebut dalam Riyadhus Shalihin bab Dzikrul Maut
wa Qashrul Umal (Mengingat Kematian dan Memendekkan Angan-Angan)
[5] Taisir Karimirrahman, Syaikh Abdurrahman bin Nshir As Sa’diy, hal. 531, cet. Dar Ibnu Hazm
[6] HR. Baihaqi dalam Az Zuhd Al Kabir no. 454, Al Hafizh Al Iraqiy berkata hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Dunya dalam “Qashrul Umal” dengan sanad yang shahih
[7] Silahkan merujuk pembahasan lebih lengkap mengenai ziarah kubur dalam artikel bulletin
At Tauhid terdahulu, “Saat Kubur Jadi Tempat Ibadah”
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/saat-kubur-jadi-tempat-ibadah
[8] Brosur “Kafa bil Mauti Wa’izh”, Darul Wathan |
Comments
Post a Comment