makalah lengkap study islam tentang IBADAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu
hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap
kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah
tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu.
Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid
tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah
Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan
diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH
adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti
yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan
zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya),
dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang
sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya
tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :
- Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
- Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
- Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
- Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih tua dari kita.
- Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
- Menepati janji.
- Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar.
- Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
- Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).
- Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal kita.
- Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun kita berada.
- Membaca Al Qur’an.
- Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada
Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal
ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya,
bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap
qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua
juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet.
Maktabah Darul Balagh hal. 6).
BAB II
P E M B A H A S A N
2.1 Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya
tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak
dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.[1]
Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani,
bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling
maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti
hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta
dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas
hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan
murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya
milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya
ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya:
“Dan Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (al-Zariyat/51:56)
Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau
perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari
pengertian ghayah al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh
kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan
itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut
ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali
apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan
memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta
merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari
pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan
ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta
kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya
kepada Allah.
Dari beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi
menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh Islam itu harus
memenuhi dua unsur:
1. Mengikat diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang
diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah , larangan,
penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2. Ketaatan itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah,
karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak untuk dicintai sehubungan
dengan nikmat yang diberikan.
Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai
Allah dan diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan batin.
Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll. Jadi
meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalahbahkan akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah
.
2.2 Ruang Lingkup Ibadah
Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan
manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena
Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara
yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup ibadah
kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah
medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali
bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam
Islam amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut
dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam
asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian
dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh
Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2. Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan
untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat
kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh
Allah.
3. Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk
menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa
Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan
memperindah kerjanya.”
4. Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut
hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain,
tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat
dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang
lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang
Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal
yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.
2.3 Dasar-dasar Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
“Ada tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang
niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; bahwa ia tidak mencintai
seseorang melainkan semata karena Allah; dan bahwa ia membenci kembali
kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia membenci
untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik)
Seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2. Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak
mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu
membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang
berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3. Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan
iman). Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman,
sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada
segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia
harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar
menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali
dalam kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba
akan senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia
akan selalu memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang
sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1) Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2) Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
3) Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang
bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu
akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada Allah dan merasa
tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan
kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang
senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang
ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut
untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya
diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang
dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan
kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap rahmat
dari Allah.[2]
Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan
karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih luas
daripada segala sesuatu.
Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1) Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya.
2) Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3) Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba.
Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan
kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf
berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa
cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada
Allah hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang
siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari
golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa
cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.
2.4 Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah
terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun
yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat
luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita
harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh
terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil
apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.[3]
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§‘sŒ #\ø‹yz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§‘sŒ #vx© ¼çnttƒÇÑÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah
adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya.
Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah,
tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya
menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’.
Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari
raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran
dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah
menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab
shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang
diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu
merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia
akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila
berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar
kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini benar-benar telah
dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja
surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi
janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri
kepada Allah SWT dan menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan
dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa
hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan
merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk.
Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin
terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan
sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi
merdeka kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan
sesungguhnya adalah kemerdekaan hati.
2.5 Makna Ibadah
Ibadah adalah cinta dan ketundukan yang sempurna.[4]
“Pada saat kita mencintai, namun kita tidak tunduk kepada-Nya, maka
kita belum menjadi hamba-Nya. Dan pada saat kita tunduk kepada-Nya
tanpa rasa ada rasa cinta, kita pun belum menjadi hamba-Nya. Sampai kita
menjadi orang yang mencintai dan tunduk kepada-Nya.”
Kita harus menyertakan cinta kita kepada Allah di dalam
ibadah kita, meskipun pada hakikatnya cinta itu telah tertanam di
dalam jiwa setiap muslim. Jika tidak, dia belum beribadah kepada Allah.
Maka hendaknya dia menghadirkan cinta itu untuk meraih kenikmatan yang
didambakan.
Area ibadah itu sangat luas hingga mencakup seluruh
perilaku yang dicintai Allah. Ibadah adalah suatu kata yang maknanya
mencakup seluruh perbuatan dan perkataan yang dicintai dan diridhai oleh
Allah, baik yang tersembunyi dan yang tampak. Jangan membatasi ibadah
hanya seputar syiar-syiar ta’abbudiyah (ibadah mahdhah) saja.
Yaitu shalat, shaum, haji dan shadaqah. Akan tetapi lebih dari itu,
ibadah itu mencakup seluruh perbuatan yang disebutma’ruf. Rasulullah bersabda,
“Setiap perbuatan baik itu adalah shadaqah.”
`Di antara perbuatan ma’ruf adalah berbuat baik di
dalam masyarakat, menyelesaikan pekerjaan mubah dengan sempurna dan
berusaha mencari karunia Allah di muka bumi. Bahkan area ibadah itu
lebih banyak lagi daripada itu, seperti dengan cara mengubah amalan yang
mubah menjadi bernilai ibadah dengan menyertakan niat yang baik di
dalam amalnya. Sebagiamana Rasulullah bersabda,
“Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalannya.”
Setiap amal untuk dunia dan akhirat yang kita kerjakan, pada hakikatnya semua adalah untuk kepentingan akhirat.
2.6 Jalan agar Ibadah dapat diterima oleh Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Seseorang akan belum sempurna
ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan saja, sedangkan
perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati. Bila
ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain
misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti
ia telah mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan
ditolak oleh Allah. Agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah, kita
harus memiliki sikap berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu
bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena
perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan
pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat
menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan
selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.[5]
2.7 Tanda-tanda seseorang yang merasakan nikmatnya Ibadah
Kenikmatan ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana firman Allah,
öNèd$yJ‹Å™ ’Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& ÏŠqàf¡9$# 4
“Tampak pada muka mereka tanda-tanda bekas sujud” (QS. Al-Fath: 29)
Ini menunjukan bahwa orang-orang yang mampu merasakan nikmatnya
beribadah akan membekas di wajahnya serta dalam tingkah laku dan
kepekaannya.
Kemudian tanda-tanda yang dapat dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan kenikmatan ibadah adalah,
1. Bersegera melakukan ketaatan
Pada saat seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan,
apapun amalan tersebut, dia akan bergegas untuk menyambutnya dengan
rasa senang, baik amalan itu datang ketika waktu shalat atau saat-saat
menjelang bulan Ramadhan yang penuh berkah atau ketika musim haji atau
jihad fi sabilillah atau amalan-amalan shalih lainnya.
Salah seorang pemuka tabi’in bernama Said bin al-Musayyib berkata,
“selama tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan.”
Muhammad bin Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh tahun aku belum pernah tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada hari ketika ibuku meninggal.”
Salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila
ingin keluar rumahnya dia shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun
shalat dua rakaat dan beliau tidak pernah meninggalkan kebiasaannya
itu. Rasulullah pun memuji dirinya, beliau bersabda,
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada saudaraku Abdullah
bin Rawahah, dia selalu menghentikan untanya di mana saja dia dapat
mendapatkan waktu shalat itu telah tiba”
Bukan hanya dalam persoalan shalat. Di dalam semua jenis ketaatan
kepada Allah yang lain pun demikian. Seperti kisah yang tidak asing
lagi, yaitu Abu Bakar dan Ummar yang berlomba-lomba dalam melakukan
kebaikan. Oleh karena itu, pada hakekatnya setan setan itu sangat
menginginkan seorang mukmin berlambat-lambat untuk melakukan ketaatan.
2. Memanjangkan shalat
Orang yang merasakan nikmatnya ibadah, dia tidak merasakan bahwa
waktu itu terus berlalu, bahkan waktu yang panjang baginya terasa
sesaat.
Dahulu Nabi Muhammad SAW. Melakukan shalat malam dengan membaca
surat al-Baqarah, Ali Imran dan an-Nisa’ dalam satu rakaat. Beliau
tidak merasakan panjangnya waktu untuk berdiri dalam shalat karena sibuk
menikmati lezatnya bermunajat.
Shalat itu mempunyai bacaan yang mampu melupakanmu dari makanan dan melalaikanmu dari perbekalan
3. Berpuasa secara rutin
Sebagaimana halnya seorang hamba yang senang menikmati ibadah
dengan memanjangkan shalatnya, dia pun senang melakukan puasa secara
rutin. Selain menahan lapar dan nafsu, dengan puasa juga akan memberikan
vitamin kepada jiwa dan akan mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha
Penguasa Yang Paling Tinggi.
4. Membaca Al-Qur’an
Allah telah mensifati orang-orang yang beriman ketika Al-Qur’an turun. Mereka adalah,
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.”(QS. at-Taubah: 124)
Mereka merasa gembira karena ayat-ayat yang tercantum didalamnya
merupakan kabar gembira bagi mereka dan sebagai bentuk ancaman bagi
musuh-musuh mereka. Didalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat jawaban bagi
permasalahan yang mereka hadapi dan di dalamnya pun terdapat perkataan
yang tidak bosan untuk di dengarkan.
5. Menyesal ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di antara tanda-tanda seseorang merasakan kelezatan ibadah adalah
apabila seorang mukmin kehilangan kesempatan dalam melakukan kebaikan
dia merasa sedih dan gelisah, sehingga dia akan berusaha untuk tidak
kehilangan kesempatan itu untuk kedua kalinya. Dia merasa sedih karena
orang lain telah mendahuluinya menuju seruan Allah. sebagaimana sedihnya
orang-orang kehilangan kesempatan untuk berjihad.
6. Rindu ingin bertemu dengan Allah
Di antara ciri-ciri orang yang merasakan kelezatan ibadah adalah
dia merindukan pertemuan dengan Dzat yang dia cintai. Dia merasakan
tenteram mendengar dan membaca kalam-Nya, tenteram dengan shalat,
berjihad melawan hawa nafsunya, puasa karena-Nya untuk mendapatkan
derajat taqwa di sisi Allah. Akan tetapi karena dia belum merasakan
kegembiraan melihat-Nya dan dia selalu berdoa kepada Allah.
Sedangkan cirri-ciri orang yang terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai berikut:
1. Mereka merasa benci untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
(#þqèdÌx.ur br& (#r߉Îg»pgä† 4
“Dan mereka benci untuk berjihad”(QS.at-Taubah:81)
2. Apabila mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta
yang nantinya akan kekal dan akan kembali kepadanya dengan berlipat
ganda, maka ia enggan menginfakkannya. Sekalipun mereka menginfakkan
harta mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang paling buruk. Allah
berfirman,
Ÿwur (#qßJ£Ju‹s? y]ŠÎ7y‚ø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè?
“ Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya “ (QS. Al-Baqarah:267)
3. Orang yang terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada Allah akan bangun untuk shalat.
4. Malas untuk melakukan amal.
2.8 Sarana meraih nikmatnya ibadah
Adapun sarana untuk mencapai kenikmatan ibadah antara lain :
1. Ridha Allah sebagai rabb yang diibadahi
Firman Allah,
šš†Å̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS.at-Taubah:100)
Mereka ridha kepada perintah dan takdir Allah, aturan dan hukum-Nya
dan ridha kepada penciptaan beserta hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan
ridha-Nya adalah dengan bertawakkal kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya
dan mengaku kelemahan-kelemahan. Ridha lahir dari cinta. Barang siapa
cinta kepada Allah, dia akan merasakan kenikmatan ketika menjadi pelayan
bagi Dzat yang dia cintai.
2. Ridha kepada nabi Muhammad sebagai utusan Allah
Sebagai halnya cinta kepada Allah, maka kita harus mencintai
Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena beliau manusia yang menyampaikan
perintah dan larangan dari Allah dan sebagai perantara yang akan
menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara seseorang untuk ridha
kepada Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan berhukum kepadanya.
3. Memperdalam iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat
Memupuk keimanan pada hari akhir akan mendorong manusia untuk semangat dalam melakukan pekerjaan.
4. Menjauhi hal-hal yang menyebabkan hati membatu
Barang siapa ingin meraih kenikmatan beribadah, hendaklah ia
bersungguh-sungguh memacu diri untuk menghindar dari dorongan hawa nafsu
dan janji-janji yang semu.
Imam Ibn Qayyim berkata:
“nafsu itu akan mengajak kepada keburukan, mungkin disebabkan
dia bodoh terhadap akibat buruk yang akan timbul atau karena niat yang
rusak atau pada saat tertentu karena dua hal tersebut secara bersamaan”
5. Bersungguh-sungguh
Barang siapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya
untuk selalu taat, maka yang demikian adalah pahala yang besar daripada
amalan lainnya. Rasulullah bersabda,
“Sudikah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang menyebabkan
Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat kedudukannya
dengan beberapa derajat?” para sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.”
Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah wudhu atas hal-hal yang di benci,
perbanyaklah melangkahkan kaki menuju masjid-masjid dan menunggu shalat
wajib setelah shalat nafilah”
6. Berdoa
7. Merasa yakin akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin akan berhasil meraih kenikmatannya
8. Menegetahui bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk yang harus ditunaikan, akan tetapi ibadah adalah ruh
9. Menjadikan ibadah sebagai prioritas perhatian seseorang
10. Memberikan kesempatan istirahat kepada jiwa dan memberikan ketenteraman hati.
2.9 Jenis ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis,
dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1. Ibadah Mahdhah, artinya
penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan
Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik
dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas
wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
!$tBur $uZù=y™ö‘r& `ÏB @Aqß™§‘ žwÎ) tí$sÜã‹Ï9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah
atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah.
Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad
saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah
Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya
ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal,
melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di
baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul
Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh
mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
d). Azasnya “taat”,
yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan
atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah
kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan
untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk
dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1. Wudhu 7. Membaca al-Quran
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah)
yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah
juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk
lainnya . Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul,
karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau
jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3. Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah
Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi
madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan
arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
“Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.” (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
BAB III
P E N U T U P
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar iadah dibagi menjadi dua:
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini
kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh
Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian
manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban
ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu
mencapai taqwa.
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami
sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan, itu datangnya
dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami
harapkan dari pembaca semua. Terutama dari
Bapak Agustiar,S.Ag,M.Ag selaku pembimbin saya pada umumnya.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah wassalamu’alaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Sumber-Sumber Lain ;
[1] Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal. 17.
[2] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3.
[3] Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.
[4] Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.
[5] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.
[6]Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.
[2] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3.
[3] Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.
[4] Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.
[5] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.
[6]Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.
[1] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana. Hal. 278
[2] Suryadi dan R. Nasrullah, 2008, Rahasia Ibadah Orang Sakit, Bandung: Madania Prima. Hal. 22
[3] Ibid, Hal. 24
[4] Isham bin Abdul Muhsin al-Humaidi Khalid bin Abdurrahman Ad-Darwisy, 2007, Ibadah pelepas lelah, Klaten: Wafa press. Hal. 18
[5] Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin S., Fiqh Madhzab Syafi’I, 2007, Bandung: Pustaka Setia. Hal. 20.
http://donielibra.wordpress.com/makalah-lengkap-study-islam-tentang-ibadah/
Comments
Post a Comment