UBUDIYAH DALAM DUNIA TASAWUF


I. Latar Belakang
 
Kita mencoba mengkaji tentang beberapa istilah dalam dunia tasawuf yang lebih dispesifikan pada istilah ubudiyah, memang sangat sulit jika mengkaji materi masjid untuk dijadikan materi ilmiah menurut keterangan dosen Kajian Teks Tasawuf Kadir Riyadi, Ph. D namun kami tetap berusaha menjadikannya sebagai materi yang bisa dikatakan mendekati layaknya ilmiah,
 
Ubudiyah dalam dunia tasawuf sebenarnya bersifat relatif, Ubudiyah merupakan cara spiritual yang dilakukan oleh seseorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Alloh, tiada takaran pasti dalam menjelaskannya, Al-Qusyairi sendiri dalam kitabnya Risalah Qusyairiyah menerangkan konsep ubudiyah ini tidak melalui definisi namun dengan menukil dan mengumpulkan pendapat-pendapat para sufi dan ulama’ lainnya.
 
Ubudiyah dalam segi bahasa di ambil dari kata Ibadah, yaitu menunaikan perintah Alloh dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba Alloh, namun ubudiyah disini tidak hanya sekedar ibadah biasa, ibadah yang memerlukan rasa penghambaan, yang diinterpetasikan sebagai hidup dalam kesadaran sebagai hamba.[1] Jiwa yang memiliki muatan sifat ubudiyah adalah jiwa yang didalamnya terkandung seperti rasa takut, tawadhu’, rendah hati, sabar dan sebagainya. Jadi didalam mengerjakan ibadah hatinya dipenuhi rasa tanggung jawab. Perbedaan antara ibadah dan penghambaan sangatlah halus, ibadah sendiri dicontohkan semua kewajiban mencari rezeki dan kebutuhan jasmaniah, dengan niat mendapat ridha Alloh. Sedangkan perbuatan ibadah yang diperlukan rasa penghambaan yang dilakukan dengan cara lain dan tanggung jawab yang merupakan dimensi batin dari pemenuhan tugas mencari nafkah dan keperluan jasmani, dan ini merupakan derajat kesadaran tertentu didalam penghambaan[2]
1
2
 
Untuk lebih memahami tentang ubudiyah itu seperti apa, maka dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan pengertian ubudiyah dengan menganalisa pendapat-pendapat para sufi dan ulama yang disebutkan dalam Risalah Qusyairiyah dan membandingkan dengan pendapat dari buku lain, unsur yang terdapat dalam ubudiyah dan bagaimana pengaruh ubudiyah dalam ibadah seseorang.

II. Ubudiyah dalam Kitab Risalah Al-Qusyairiyah

Dengan berdasar pada ayat Alqur’an surat Al-Hijr ayat 99
   
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Q.S. Al-Hijr: 99)[3]


Sehingga ubudiyah secara umum dapat diterjemahkan sebagai ibadah yakni menyembah Alloh dengan sungguh-sungguh. Ibadah dalam wilayah ini sudah benar-benar ditujukan hanya untuk Alloh, tidak untuk selain-Nya. Dipenuhi rasa penghambaan kepada Alloh.
1
 
Makna ibadah adalah sebuah ketundukan yang total dan maksimal yang hanya dipersembahkan kepada Allah karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Ketundukan ini dibuktikan dengan melakukan segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik yang tampak maupun tersembunyi. Untuk lebih memahami penerapan ubudiyah kita dapat melihat contoh Ketika nabi Musa as mengembara mencari guru untuk belajar ilmu-ilmu batiniah yang berbeda dengan ilmu lahiriah, Allah mempertemukan beliau yang saat itu disertai Yusa’ bin Nun di sebuah tempat perpaduan dua lautan (majma’ul Bahrain) dengan seorang “abdan min ‘ibadina”, seorang hamba Allah yang saleh, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, karena ketinggian kualitas ubudiyah serta keiklasannya, maka ia bisa mendapatkan karunia ilmu laduni yaitu ilmu yang didapat dengan mudah tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu Atau dalam contoh lain Ketika iblis bersumpah akan menyesatkan semua anak cucu adam, maka terpelesetlah lidahnya sehingga menyebutkan sebuah rahasia besar bahwa ada segolongan manusia yang tidak akan termakan rayuannya, “ia adalah hamba-hamba Alloh yang Ikhlas” seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat as-Shad ayat 83. Disini kita temukan kembali keampuhan dari maqam ubudiyah yang dimiliki seseorang.[4] Jadi jiwa yang memiliki muatan sifat ubudiyah adalah jiwa yang mempunyai rasa seperti rasa takut, tawadhu’, rendah hati, ikhlas dan sebagainya.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Abu Hurairah RA bahwa Rosululloh SAW bersabda :

سبعة يظلهم الله فى ظله يوم لا ظل الا ظله امام عادل وشاب نسأ بعبدة الله تعالى

ورجل قلبه معلق بالمسجد ادْا خرج منه حتى يعود اليه ورجلان تحاب فى الله اجتمع على دْالك

وتفرقا عليه ورجل دْكر الله تعالى خاليا ففاضة عيناه ورجل دعته امرأة دْات حسن و جمل فقال انى اخاف الله

رب العالمين ورجل تصدق بصدقة فاخفاهاحتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

Tujuh orang yang akan diberi naungan oleh Alloh pada hari tiada naungan melainkan naungan-Nya. Imam yang adil, Pemuda yang gemar melakukan ibadah kepada Alloh. Seorang yang hatinya selalu bergantung (berhubungan) dengan masjid apabila keluar sampai dia kembali, Dua orang yang saling mencintai karena Alloh, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, Seorang yang berzikir kepada Alloh sendirian maka kedua matanya berlinang air mata, Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik jelita dan ia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Alloh Tuhan semesta alam” dan Seseorang yang bersedekah dengan suatu pemberian secara tersembunyi, hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya. (HR. Turmudzi)[5]
1
2
3

Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi dalam bukunya Risalah Qusyairiyah mengatakan, bahwa ia telah mendengar ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, Ubudiyah lebih sempurna daripada ibadah. Tingkatan dasarnya adalah ibadah kemudian ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ‘ubudah. Ibadah itu dimiliki oleh orang awam (umum). Ubudiyah dimiliki oleh orang khawas. ‘Ubudah dimiliki oleh orang khwas al-khawas.” Beliau juga mengatakan, “Ibadah dimiliki oleh orang yang memiliki ilmu yakin. Ubudiyah dimiliki oleh orang yang mempunyai ainul yakin. Dan ubudah dimiliki oleh orang yang mempunyai haqul yakin”. Beliau juga mengatakan, ibadah dimiliki oleh orang yang mujahadah (bersungguh-sungguh). Ubudiyah dimiliki oleh orang yang Mukabadah (Yang terbebani dengan beratnya cobaan), Ubudah dimiliki oleh orang yang musyahadah (menyaksikan Tuhan).” Barang siapa yang tidak merendahkan dirinya maka dia adalah pemilik ibadah. Barang siapa yang tidak kikir pada hatinya maka dia adalah pemilik ubudiyah. Sedangkan barang siapa yang tidak kikir pada ruhnya maka ia adalah pemilik ubudah.[6]
1
2
3
 
Jadi Ubudiyah merupakan tingkatan ibadah untuk orang yang sudah memiliki kualitas tinggi terhadap imannya dan tauhidnya, sehingga didalam tiap-tiap ibadah dan do’anya selalu didasari rasa kehambaan diri kepada Allah (Aal-`Ubudiyah).
Oleh sebab itu Kenikmatan berdo’a layaknya ubudiyah dapat dirasakan apabila kita telah menghayati do’a  tiga macam:
(a)     Menyerah kepada Allah pada suatu tujuan, dengan berbaik sangka yakni beranggapan bahwa Tuhan lebih mengetahui apa yang paling baik buat kita.
(b)    Bertawakkal kepada Allah dalam kita mendapatkan diri kepadaNya. Artinya kita tidak berpegang kepada lainnya selain hanya kepada Allah
(c)     Kita rela pada apa yang diputuskan oleh Allah. Artinya apakah Allah memperkenankan doa kita atau tidak. Jika Allah memperkenankan maka kita bersyukur kepadaNya dan jika tidak maka kita pun menerimanya juga dengan ikhlas. 
 
seseorang yang sudah sampai kepada tingkatan maqom ini berarti tauhidnya telah begitu tinggi dan murni oleh karena itu hatinya selalu tunduk kepada Allah dalam segala hal. 
 
Didalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah ini juga disebutkan tentang satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud ubudiyah adalah menegakkan ketaatan secara bersungguh-sungguh dengan pengagungan, memandang apa yang datang dari dirimu dengan pandangan merendahkan, dan menyaksikan sesuatu yang dihasilkan dari perjalanan hidupmu sebagai ketetapan Alloh. Menurut pendapat yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiyar terhadap sesuatu yang riil sebagai suatu ketetapan. Dan sebagian ulama berpendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menolak daya upaya dan kekuatan dan mengakui sesuatu yang telah diberikan dan diatur oleh Alloh berupa umur yang panjang dan anugerah. Lalu menurut sebagian yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang.[7]
 
Al-Qusyairi juga menyebutkan didalam kitabnya Risalah Al-Qusyaisiyah, bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Khafif pernah ditanya “Kapan ubudiyah dianggap sah.” Dia menjawab, “Apabila dia telah melimpahkan semua urusan kepada Tuhannya dan bersabar atas cobaan-Nya”.
 
Seorang yang beribadah kepada Alloh dengan sungguh-sungguh tidak boleh mengeluh dengan keadaannya, jika ia mengeluh maka tidak dianggap syah ibadahnya tadi. Menurut Sahal. Ibadah seseorang tidak dianggap sah sampai ia tidak mengeluh dalam empat hal : Lapar, telanjang  dengan tidak memiliki pakaian, fakir dan hina. Menurut satu pendapat yang dimaksud ubudiyah adalah menyerahkan segala urusan kepada Alloh dan menanggung semua urusannya. Menurut satu pendapat lagi, tanda-tanda ubudiyah adalah menghindarkan pengaturan dan menyaksikan ketetapan.  
 
Dzunun Al-Mishri mengatakan, “Yang dimaksud ubudiyah adalah menjadi hamba yang selalu berada di dalam segala hal sebagaimana Tuhan yang selalu berada dalam segala hal. “. Ahmad Al-Jariri mengatakan, “Penghamba kenikmatan sangat banyak jumlahnya dan penghamba Dzat Pemberi ni’mat sangat kuat eksistensinya”. [8]
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, ‘ Engkau adalah budak yang engkau sendiri berada di dalam perbudakannya dan tawanannya. Apabila engkau berada di dalam tawanan dirimu , maka engkau adalah budak duniamu’’.

Rasululloh  bersabda :


تعس عبد الدرهم تعس عبد الديار تعس عبد الخميصة

Alangkah celaka budak dirham, celaka budak rumah, celaka budak pakaian. (HR. Bukhori)[9]


Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata saya telah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Saya telah mendengar Ibrahim An-Nash Abadzi berkata,’Nilai orang yang menyembah tergantung dari yang disembah, sebagai mana kemuliaaan orang yang makrifat tergantung yang dimakrifati”.
 
Menurut Abu Hafs, Ubudiyah adalah hiasan hamba. Barang siapa yang meninggalkannya maka ia tidak akan mendapatkan hiasan. Menurut An-Nabaji, dasar ibadah memiliki tiga bentuk :
1. tidak menolak hukum hukum Alloh
2. Tidak merendahkan sesuatu.
3. tidak meminta kepada orang lain karena kebutuhan.
Menurut Ibnu Atha’ Ubudiyah memiliki empat bentuk,
1. memenuhi janji
2. menjaga batasan-batasan hukum
3. ridha terhadap sesuatu yang ada
4. sabar terhadap sesuatu yang tidak ada
 
‘Amru bin Utsman Al Makki menuturkan kisahnya, “Saya tidak pernah melihat seorang penyembah di kebanyakan tempat yang saya temuai di Makkah Al-Mukarramah, tidak juga seorang pun yang datang kepada kami pada musim-musim haji atau yang lain, yang sungguh-sungguh beribadah. Tidak pula dijumpai perilaku ibadah yang berketetapan dan terus menerus menjalankan ibadah dengan keberanian menanggung hal-hal yang sulit. Saya juga tida melihat seorangpun yang benar-benar mengagungkan perintah Alloh, tidak pula hamba yang berani mempersempit dirinya dan memperluas orang lain.”
 
Syaikh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata, “Guru saya Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada Ubudiyah dan tidak ada nama yang lebih sempurna bagi orang mukmin selain nama yang diakitkan dengan fungsi ubudiyah / penghambaan. Oleh karena itu Alloh mensifati Nabi terkasihnya Muhammad pada malam mi’raj dengan panggilan :
  
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al-Isra’ : 1)[10]

[847] Maksudnya: Al Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya dapat berkat dari Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya.

Dan firman Alloh yang lain : 

lalu Dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.(Q.S. An-Najm : 10)[11]

Sehingga seandainya ada gelar yang lebih mulia daripada sifat kehambaan tentulah Dia telah memberikannya untuk beliau. Dalam konteks inilah disya’irkan :

Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku demi Zahra-ku
Penglihatan dan pendengaran tahu semua ini
Jangan panggil diriku kecuali dengan “Wahai hamba Zahra”
Sesungguhnya nama termulia panggilan itu bagiku

Sebagian ahli sufi mengatakan, “Hanya ada dua yang penting, senang dengan sesuatu yang lekat pada dirinya dan percaya pada kemampuan gerak. Jika dua perkara ini terlepas dari anda maka anda benar-benar telah membuktikan fungsi ubudiyah.”
Waspadalah kalian pada lezatnya pemberian sesungguhnya kelezatan ini menjadi tutup bagi orang-orang yang berhati jernih”. Demikian kata Muhammad Al-Wasithi.
 
Abu Ali al-Jurjani mengatakan, “Ridha adalah ruang ubudiyah. Sabar adalah pintunya, sedagnkan sikap pasrah adalah rumahnya. Karena itu suara ubudiyah berada di pintu, kekosongan diri berada di dalam ruangan, dan istirahat terletak di dalam rumah”.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Sebagaimana Rububiyah (sifat ketuhanan) merupakan sifat Al-Haq yang tidak pernah berubah, maka ubudiyah sebagai sifat hamba tidak boleh terpisah selamanya”.

Sya’ir :
Jika kalian meminta kepada-Ku
Katakan “inilah saya hamba-Nya”
Sekalipun mereka yang meminta
Mengatakan “inilah Engkau Tuhanku”.

Ibrahim An-Nashr Abadzi mengatakan, “Ibadah menuntut kelapangan, sedangkan permohonan maaf yang disebabkan kekurangannya adalah lebih dekat pada permintaan ganti dan balasan. Ubudiyah menggugurkan penglihatan hamba atas ketersingkapan intuisi pada yang Disembah.
Menurut al-Junaid, Ubudiyah adalah sikap meninggalkan kesibukan,dan penyibukan diri dengan hal yang merupakan pangkal dari kekosongan (fana’).

III. Hakikat Ubudiyah
 
Menurut  Imam Ja’far ash-Shadiq, hakikat ubudiyah itu ada tiga macam
  1. Seorang tidak menganggap apa yang Alloh karuniakan kepadanya sebagai miliknya
  2. Seseorang tidak membuat suatu aturan (tadbir) bagi dirinya
  3. Seseorang harus menyandarka seluruh aktivitasnya sesuai dengan perintah dan larangan Alloh.
Apabila seorang hamba tidak menganggap adanya hak kepemilikan terhadap apa yang Alloh anugrahkan kepadanya, maka upaya untuk menginfakkan harta sesuai dengan apa yang diperintahkan Alloh akan terasa ringan baginya. Sebab, harta tersebut bukan miliknya, sehingga tidak layak dia bersikap bakhil. Apabila seorang hamba menyerahkan pengaturan dirinya kepada Zat Yang Maha Mengatur, maka dia akan merasa enteng atas berbagai musibah dunia. Apabila seorang hamba sibuk dengan berbagai perintah dan larangan Alloh, dia tidak mempunyai kesempatan untuk berbantah-bantahan dan berbangga-bangga terhadap manusia. Apabila Alloh telah memuliakan seseorang dengan tiga perkara itu maka terasa ringanlah baginya segala urusan dunia, godaan iblis dan makhluk lain. Dengan begitu maka manusia dalam usahanya mencari rizki tidak akan bermaksud bersaing dan bermegah-megahan dengan orang lain. Dalam segala hal maka dia tidak ingin mencari kemuliaan dan kedudukan ditengah-tengah manusia, dia tidak juga membiarkan hari-hari nya dalam keadaan bathil dan ini merupakan awal dari tingkatan takwal.[12]
 
Ubudiyah memberikan terapi psikologi yang luar biasa, selain mengajarkan bagaimana tata cara beribadah yang benar-benar layaknya hamba beribadah pada tuhannya, ubudiyah juga memberikan dampak yang sangat baik bagi pengaturan gaya hidup seseorang, dengan tidak menganggap segala sesuatu didunia ini adalah milik Alloh maka tiada beban dalam beramal, sehingga selain orang itu dermawan ia juga akan mendapatkan kesan baik yang muncul dari masyarakat disekitarnya, ia akan disenangi oleh mereka dan kerukunan antar masyarakat dapat terjalin. Selain itu jika ia bergaya hidup sesuai dengan kemampuannya tidak bersaing bermegah-megahan atau ingin mendapatkan kemuliaan ditengah-tengah masyarakat, hidupnya akan lebih stabil, tidak menggebu-gebu berambisi yang bisa membuat badan dan rohaninya sakit, jika seseorang sangat berambisi untuk mendapatkan sesuatu dan belum diijinkan untuk dimilikinya maka akan timbul kontra atau sejenis gejolak protes dalam jiwanya, jiwa yang bergejolak maka berdampak pada badan yang sakit. Akan tetapi  jika seseorang tersebut tidak berambisi dan saat ia diijini untuk memperoleh kekuasaan atau kemuliaan dihadapan manusia maka itu terasa bahwa Alloh memberikan karunia terhadapnya.

IV. Tingkatan-Tingkatan Ubudiyah
 
Dalam ubudiyah terdapat tingkatan-tingkatan menurut siapa yang menjalani dan mendapatkannya,
 
Pertama ubudiyah yang bersifat umum. ubudiyah ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Alloh baik muslim ataupun kafir. Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap takdir dan sunnatullah. Allah berfirman:

tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Q.S. Maryam : 93)[13]

hamba yang dimaksud di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir. Seperti dalam istilah senyum adalah ibadah, orang yang beribadah layaknya senyum tidak harus orang muslim, orang kafirpun bisa senyum dan itulah yang dimaksud ubudiyah tingkat pertama ini.

Kedua, ubudiyah ketaatan yang bersifat umum. Disini mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Alloh, sebagaimana firman Alloh:
   
dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(Q.S. Al-Furqan : 63)[14]

Didalamnya adanya kepatuhan dan ketundukan dalam menjalani syari’at Alloh, jadi yang dimaksud ubudiyah ini adalah melaksanakan perintah-perintah syariat Alloh dengan penuh rasa penghamba’an dan rendah hati, dan ubudiyah disini dimaksud untuk orang muslim

Ketiga, ubudiyah yang khusus. adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Alloh. Sebagaimana firman Alloh tentang Nabi Nuh: 

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (Q.S. Al-Isra’ :3)[15]

Kemudian Allah berfirman tentang Rasulullah:
dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Q.S. Al- Baqoroh : 23)[16]

[31] Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad s.a.w.

Dan Alloh berfirman tentang seluruh para rasul:

dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (Q.S. Shaad : 45)[17]

Ini merupakan ubudiyahnya para rasul yang tidak ada seorangpun akan bisa mencapainya.[18]  Karena tingkat ubudiyah rosul adalah tingkat ubudiyah yang sudah tinggi, hamba yang dimaksud didalam ayat-ayat itu adalah Rosul, rasa penghambaan seorang rosul dalam beribadah kepada Alloh jelas sangat jauh tingkatannya dari penghambaan kita sebagai umatnya.
 
Terdapat pula adab-adab berubudiyah : 
 
  1. Adab di hadapan Alloh
  2. Merendahkan diri dan merasa kurang dari Alloh
  3. Tidak meminta kepada Alloh sesuatu yang tidak layak
  4. Menampakkan Kesempurnaan Ubudiyah dengan menggugurkan permintaan, bahkan permintaan ingin masuk surga dan selamat dari neraka sekalipun
  5. Hendaknya tidak membesarkan amal perbuatan sendiri ataupun ketaatan Sendiri, melainkan membesarkan kurnia Alloh, dan tidak membesarkan penampilan kekuasaan dan kekuatannya. melainkan membesarkan kekuasaan dan kekuatan Alloh
  6. Hendaknya tidak mengeluh terhadap tuhannya apabila terjadi sesuatu yang buruk, seperti saat ditimpa musibah, cobaan, dan sebagainya
  7. Hendaknya tidak melontarkan perkataan yang argumentatif kepada Alloh
  8. Bersyukur kepada Alloh atas nikmatnya di dalam semua keadaan
  9. Mengagungkan nama Alloh yang Maha Tinggi
  10. Menunjukkan Ubudiyah terhadap Keagungan dan Keindahan
Ubudiyah dilihat dari pendapat-pendapat dan hakikat serta adabnya dapat diartikan sebagai tatacara untuk beribadah kepada Alloh secara sungguh-sungguh dengan dipenuhi rasa kehambaan dan rasa tanggung jawab. Sehingga dapat lebih mendekatkan diri kepada Alloh secara sempurna

V. Analisa
 
Hal yang dapat saya tangkap dari penjelasan mengenai ubudiyah dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah, ubudiyah dalam dunia tasawuf adalah menegakkan ketaatan secara bersungguh-sungguh dengan pengagungan, memandang kemampuan manusia adalah rendah dihadapan kekuasaan Alloh, dan meyakini bahwa segala perjalanan hidup ini adalah bagian dari ketetapan Alloh. Menurut pendapat yang lain yang dimaksud ubudiyah adalah meninggalkan ikhtiyar terhadap sesuatu yang riil sebagai suatu ketetapan. Kemudian masih didalam kitab Risalah Al-Qusyaisiyah, disebutkan bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Khafif pernah ditanya “Kapan ubudiyah dianggap sah.” Dia menjawab, “Apabila dia telah melimpahkan semua urusan kepada Tuhannya dan bersabar atas cobaan-Nya”. Saya akan mencoba menganalisa dari kata-kata menyerahkan semua urusan kepada Tuhannya, melimpahkan semua urusan disini tidak bermakna menyerahkan semuanya secara  mutlak sehingga manusia tidak melakukan usaha sedikitpun, manusia tetap diberi batasan untuk tetap berusaha mengusahakan apa yang terbaik bagi dirinya, setelah manusia berusaha memilih jalan untuk mengusahakan maka keputusan hasilnya baru ada ditangan Alloh, apakah usaha itu di berikan keberhasilan atau tidak itu wilayah Alloh, dan manusia yang berubudiyah akan bersabar dalam menjalani keputusan Alloh dengan berbaik sangka bahwa itu adalah keputusan yang terbaik yang dipilihkan Alloh untuknya. 
 
Di dalam kitab Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa tingkatan dasarnya adalah ibadah kemudian ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ‘ubudah. Ibadah itu dimiliki oleh orang awam (umum). ubudiyah dimiliki oleh orang khawas dan ubudah dimiliki oleh orang khwas al-khawas. Kemudian jika saya sandingkan dengan pendapat dalam buku Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Amatullah Armstrong mengartikan istilah ubudiyah sebagai penghambaan, ubudiyah ini merupakan keadaan hamba yang mendekat kepada Alloh melalui ketaatan. Ubudiyah adalah kedekatan melalui pelaksanaan amal-amal sunnah (qurb al-nawafil). Ini merupakan maqam terendah dari empat maqam kesempurnaan, orang arif berhiaskan sifat-sifat penghambaan (ubudiyah) dan pengabdian (ubudah) setelah kehilangan dirinya sendiri di dalam Alloh (fana’ fillah). Dengan menjadi bukan sesuatu (la syay’) sang hamba kemballi kepada makhluk dengan pengabdian sempurna (ubudah).[19]
 
Dari kedua pendapat mengenai ubudiyah dari dua sumber yang berbeda itu sudah berbeda pemaknaannya dalam ubudiah, yang pertama mengatakan ubudiyah berada dalam tingkatan kedua setelah adanya ibadah sedangkan pendapat kedua mengatakan ubudiyah adalah tingkatan dasar yang disusul oleh ubudah, kalau menurut pendapat saya, saya cenderung untuk mendukung kebenaran pendapat pertama, karena ibadah dalam ubudiyah bukanlah asal ibadah seperti yang dilakukan orang pada umumnya, ubudiyah memerlukan ujian, rasa tanggung jawab dan rasa penghambaan yang benar-benar ditujukan pada Alloh selain itu ubudiyah juga di dipenuhi rasa takut, tawadhu’, rendah hati dan ikhlas dalam setiap melakukan perbuatan ibadah kepada Alloh. Jadi sebelum seseorang melakukan dan sampai pada tingkatan ubudiyah harus memalui tingkatan ibadah dahulu. Sehingga tata urutannya dimulai dari ibadah, kemudian ubudiah dan yang terakhir tingkatan ubudah yang dapat menyatu dalam tuhannya.
 
Orang yang mengaku berubudiyah dengan meninggalkan kewajiban dalam hal duniawiyah dengan menghabiskan sisa umurnya hanya semata-mata untuk beribadah itu tidak dibenarkan dalam tata karma, dan akan membuat sulit kehidupan manusia sendiri, ubudiyah tidak menuntut seperti itu dan tidak juga menyengsarakan kehidupan manusia, hanya saja ubudiyah Ismail bin Najid mengatakan, “Jangan mencintai seseorang yang mengerjakan Ubudiyah sehingga ia dapat menyaksikan perbuatannya memperoleh karunia dan menyaksikan keadaannnya memperoleh tuntutan.” Abdullah bin Manazil mengatakan.”Hamba adalah orang yang tidak menuntut pelayanan atas dirinya karena jika demikian maka dia telah menjatuhkan batasan Ubudiyah dan meninggalkan tatakrama.” Sahal bin Abdullah mengatakan Tidak layak bagi hamba beribadah hingga tidak dapat melihat pengaruh kemiskinan dalam ketiadaan, dan melihat pengaruh kekayaan dalam keberadaan”. Menurut satu ungkapan, Ubudiyah adalah menyaksikan Tuhan.
 
Kalau analisis kami tentang tulisan Al-Qusyairi dalam kitabnya, beliau terkesan hanya mengumpulkan beberapa pendapat ulama-ulama lain mengenai ubudiyah ini, konsep ubudiyah yang ditawarkan Al-Qusyairi ini tidak terlihat jelas, ia setuju dari pendapat yang mana, itupun tidak jelas, oleh sebab itu makalah ini jadi terkesan seperti terjemahan untuk menjelaskan masing-masing pengertian ubudiah dari pendapat ulama yang ada di dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah, tetapi saya sudah berusaha memadukan dengan pendapat dari buku lainnya
 
Dari keseluruhan analisa tadi saya lebih cenderung mendukung pendapat salah satu ulama yang ada di dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah ini yaitu pendapat Abu Ali Ad-Daqaq yang mengatakan bahwa ubudiyah lebih sempurna daripada ibadah. Tingkatan dasarnya adalah ibadah kemudian ubudiyah, dan yang tertinggi adalah ubudah. Ibadah itu dimiliki oleh orang awam (umum). Ubudiyah dimiliki oleh orang khawas. Ubudah dimiliki oleh orang khwas al-khawas. Beliau juga mengatakan, “Ibadah dimiliki oleh orang yang memiliki ilmu yakin. Ubudiyah dimiliki oleh orang yang mempunyai ainul yakin. Dan ubudah dimiliki oleh orang yang mempunyai haqul yakin”. Beliau juga mengatakan, ibadah dimiliki oleh orang yang mujahadah (bersungguh-sungguh). Ubudiyah dimiliki oleh orang yang Mukabadah (Yang terbebani dengan beratnya cobaan), Ubudah dimiliki oleh orang yang musyahadah (menyaksikan Tuhan).” Barang siapa yang tidak merendahkan dirinya maka dia adalah pemilik ibadah. Barang siapa yang tidak kikir pada hatinya maka dia adalah pemilik ubudiyah. Sedangkan barang siapa yang tidak kikir pada ruhnya maka ia adalah pemilik ubudah.[20]

VI. Kesimpulan
 
Ubudiyah dalam segi bahasa di ambil dari kata Ibadah, yaitu menunaikan perintah Alloh dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba Alloh, namun ubudiyah disini tidak hanya sekedar ibadah biasa, ibadah yang memerlukan rasa penghambaan, yang diinterpetasikan sebagai hidup dalam kesadaran sebagai hamba.[21] Jiwa yang memiliki muatan sifat ubudiyah adalah jiwa yang didalamnya terkandung seperti rasa takut, tawadhu’, rendah hati, sabar dan sebagainya. 
 
Makna ibadah adalah sebuah ketundukan yang total dan maksimal yang hanya dipersembahkan kepada Allah karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya. Ketundukan ini dibuktikan dengan melakukan segala perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik yang tampak maupun tersembunyi.
 
 Menurut  Imam Ja’far ash-Shadiq, hakikat ubudiyah itu ada tiga macam
  1. Seorang tidak menganggap apa yang Alloh karuniakan kepadanya sebagai miliknya
  2. Seseorang tidak membuat suatu aturan (tadbir) bagi dirinya
  3. Seseorang harus menyandarka seluruh aktivitasnya sesuai dengan perintah dan larangan Alloh.
Ubudiyah memberikan terapi psikologi yang luar biasa, selain mengajarkan bagaimana tata cara beribadah yang benar-benar layaknya hamba beribadah pada tuhannya, ubudiyah juga memberikan dampak yang sangat baik bagi pengaturan gaya hidup seseorang, selain itu juga ubudiah membawa dampak sosial dan kesehatan
 
Tentu sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan jikalau ibadah, pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di hadapan Allah. Telah sepakat para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah akan diterima oleh Allah dengan dua syarat, yaitu “mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah” dan “mengikuti sunnah Rasulullah.” 
 
Baik buruknya orang yang melakukan ibadah dinilai dari niatnya, resolusi serta tekad dan ketulusannya. Ada orang yang menunaikannya karena punya tujuan ingin masuk surga, lalu orang yang menunaikan kewajiban atau tanggung jawab agar selamat dari api neraka, orang yang menunaikannya karena cinta dan takdzim kepada Alloh dan orang yang menunaikannya sebagai syarat hubungan antara Alloh sebagai satu-satunya pencipta yang patut disembah dengan manusia sebagai ciptaannya. [22]
 
Yang pertama dari golongan tersebut disebut pedagang, yang kedua adalah budak dan yang ketiga adalah pecinta dan yang keempat adalah hamba yang taat atau beriman.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qusyairi An Naisaburi, Abdul Qasim Abdul Karim Hawazin. 1998. Risalah Qusaiyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Jakarta : Pustaka Amani.
Armstrong, Amatullah. 1996. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung : Mizan.
Gulen, Fathullah. 2001. Kunci-Kunci Rahasia Sufi, ter. Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ibrahim, Rizal. 2003. Menghadirkan Hati : Panduan Menggapai Cinta Ilahi. Jogjakarta: Pustaka Sufi.
MZ, Labib. ?. Kuliah Ma’rifat. Surabaya : CV. Bintang Pelajar.
Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang : CV. Toha Putra.



[1] Fathullah Gulen, Kunci Rahasia Sufi,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 95.
[2] Ibid.
[3] Al-Qur’an, 15 : 99.
[4] Deddy Kurniawam, Aplikasi Filosofi Ibadah Dalam Kehidupan, (My Theatre Of Dream, 18 Juni 2008 7:32 AM)
[5] Hadits Riwayat At-Turmuzi, disebutkan di nomor 2392 dalam “Az Zuhud”  bab “apa-apa yang datang didalam cinta di dalam Alloh”.
[6] Abdul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An Naisabuuri, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), 280
[7] Ibid,.
[8] Ibid,.
[9] Hadits Riwayat Imam Bukhori nomer 60 dan 61 “Al Jihad” bab “ peliharaan diri di dalam perang di jalan Alloh” juga didalam “ Ar Riqaq atau perbudakan”  bab “apa-apa yang tetap diantara fitnah harta”.
[10] Al-Qur’an, 17: 1.
[11] Al-Qur’an, 53 : 10.
[12] Jalaluddin Rakhmat, Kuliah-kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 214-215.
[13] Al-Qur’an, 19 : 93.
[14] Ibid, 25 : 63.
[15] Ibid, 17 : 3.
[16] Ibid, 2 : 23.
[17] Ibid, 38 : 45.
[18] (Al Qaulul Mufid, 1/36)
[19] Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Bandung: Mizan, 1996), 302.
[20] Abdul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An Naisabuuri, Risalah ………….., 280.
[21] Fathullah Gulen, Kunci Rahasia ,…………..95.
[22] Ibid,………………97.

Comments

Popular posts from this blog