CARA BERWUDUK DAN SEMBAHYANG

http://www.scribd.com/doc/4654705/Panduan-Cara-Wuduk-Rasulullah-Ambil-Air-Sembahyang-
yang-Benar
http://qawudukdanmandi.blogspot.com/2009/01/cara-berwuduk.html

Cara Berwuduk

Salam

Ust,

Boleh ust jelaskan kepada saya cara-cara untuk berwuduk dengan sempurna...
-----

wa'alaikumussalam

Alhamdulillah. Kami akan cuba menjawab soalan ahlulbait kekadar yang termampu, Insya-Allah.

Dikatakan wudhu' yang sempurna adalah seseorang yang melaksana ibadat tersebut merangkumi perkara yang wajib dan sunnat. Perkara wajib wudhu' boleh dilhat didalam firman Allah swt :-

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

" Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sembahyang (padahal kamu berhadas kecil), maka (berwuduklah) iaitu basuhlah muka kamu, dan kedua belah tangan kamu meliputi siku dan sapulah sebahagian dari kepala kamu dan basuhlah kedua belah kaki kamu meliputi buku lali dan jika kamu berjunub (berhadas besar) maka bersucilah dengan mandi wajib dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air) atau dalam pelayaran atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air atau kamu sentuh perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi), maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah (debu) yang bersih, iaitu: Sapulah muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah debu itu. Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan (kepayahan), tetapi Dia berkehendak membersihkan (mensucikan) kamu dan hendak menyempurnakan nikmatNya kepada kamu, supaya kamu bersyukur. "- [Surah al-Maidah : 6]

(a) Perkara wajib wudhu':

1. Berkumur2 (المضمضة) dan masukkan air kedalam hidung (الاستنشاق) *khilaf ulama' - ada yang mengatakan ia adalah sunat
2. Membasuh muka keseluruhannya sekali.
3. Membasuh tangan sampai ke siku satu kali
4. Membasuh kepala termasuklah telinga sekali
5. Membasuh kaki sehingga ke buku lali sekali.
6. Perkara diatas ini hendaklah dilakukan secara tertib.
7. Ia hendaklah dilakukan berterusan; maknanya tidak terdapat jarak yang panjang diantara sesuatu perbuatan.


(b) Perkara sunat didalam wudhu'

1. Membaca Bismillah
2. Membasuh tangan 3X
3. Berkumur-kumur 3X, dan juga memasukkan air kedalam hidung 3X.
4. Membasuh muka 3X, termasuklah janggut.
5. Membasuh tangan sampai ke siku 3X
6. Membasuh kaki sampai ke buku lali 3X

Membaca do'a selepas wudhu' :-

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله

transliterasi - “Ashhadu an laa ilaaha ill-Allaah wahdahu laa shareeka lah, wa ashhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasooluhu
maksudnya - "Aku naik saksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang satu dan tidak mensyirikkannya, dan Aku naik saksi bahawa Muhammad hambanya dan Rasulnya"

Penjelasan secara detail kaifiat wudhu' hendaklah dilihat pada Kitab-Kitab Fiqh. WA.

sekian, wassalam

Post a Comment


 

Koreksi Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu

Koreksi Beberapa Kesalahan dalam Berwudhu
Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

PERTANYAAN

Berwudhu, suatu kegiatan yang sudah akrab dengan kaum muslimin. Seorang muslim yang ingin beramal ibadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah tentunya juga ingin mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi yang dilakukan orang dalam praktik berwudhu, agar dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Oleh sebab itu, harap diterangkan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi!


JAWABAN

Ada beberapa kesalahan dalam praktek berwudhu di tengah masyarakat. Berikut ini kami akan menerangkan beberapa kesalahan tersebut.

Memisahkan Antara Kumur-Kumur dan Menghirup Air

Memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air, dengan cara mengambil air tersendiri untuk dihirup selain dari air untuk berkumur-kumur, merupakan kesalahan yang hampir merata di tengah masyarakat. Perlu kami terangkan bahwa memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air tidak dilandasi tuntunan yang benar dari Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .

Orang yang melakukan hal tersebut sandarannya hanyalah dibangun di atas hadits yang lemah. Berikut ini penjelasannya.

Hadits Thalhah bin Musharrif dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata,

دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَالْمَاءُ يَسِيْلُ مِنْ وَجْهِهِ وَلِحْيَتِهِ عَلَى صَدْرِهِ فَرَأَيْتُهُ يَفْصِلُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالْإِسْتِنْشَاقِ

“Saya masuk menemui Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan beliau sedang berwudhu. Air mengucur dari wajah dan jenggot beliau di atas dadanya. Saya melihat beliau memisahkan antara kumur-kumur dengan menghirup air ke hidung.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan -nya no. 139, Al-Baihaqy dalam Sunan -nya 1/51, dan Ath-Thabarany jilid 19 no. 409-410. Semuanya dari jalan Al-Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya. Lalu dalam salah satu riwayat Ath-Thabarany dengan lafazh,

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَتَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا يَأْخُذُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مَاءً جَدِيْدًا …

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali. Beliau mengambil air baru (baca: tersendiri) untuk setiap anggota ….”

Hadits ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/53 karya anaknya. Ada dua kelemahan dalam sanadnya:

Pertama , terdapat rawi yang bernama Al-Laits bin Abi Sulaimdan ia telah dilemahkan oleh Ibnu Mahdy, Yahya Al-Qaththan, Ibnu ‘Uyyainah, Ibnu Ma’in, Ahmad, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ya’qub Al-Fasawy, An-Nasa`i dan lain-lainnya, bahkan Imam An-Nawawy, dalam Tahdzib Al-Asma` Wa Al-Lughat 1/2/75, menukil kesepakatan para ulama atas lemah dan goncangnya hadits Al-Laits bin Abi Sulaim.

Kedua , ayah Thalhah bin Musharrif adalah rawi yang majhul ‘tidak dikenal’.

Baca Tahdzibut Tahdzib , Al-Badrul Munir 3/277-286, At-Talkhish Al-Habir 1/133-134, dan Nashbur Rayah 1/17.

Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam At-Talkhish , menyebutkan bahwa Ibnus Sakan menyebut dalam Shahih -nya satu hadits dari jalan Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah, bahwa beliau berkata,

شَهِدْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا فَأَفْرَدَا الْمَضْمَضَةَ مِنَ الْإِسْتِنْشَاقِ ثُمَّ قَالاَ : هَكَذَا رَأَيْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ

“Saya menyaksikan ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin ‘Affan berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu keduanya menyendirikan (baca: memisahkan) kumur-kumur dari menghirup air. Kemudian keduanya berkata, ‘Demikianlah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu.’.”

Saya berkata , “Al-Hafizh Ibnu Hajar tidak menyebutkan sanad hadits ini, tapi bisa dipastikan bahwa hadits ini lemah karena ‘Utsman bin ‘Affan, dalam riwayat Bukhary-Muslim dan selainnya, telah memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu dan beliau tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air. Demikian pula ‘Ali bin Abi Thalib, dalam riwayat yang shahih dari beliau, memeragakan cara Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu, tetapi tidak memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air.

Kemudian saya menemukan sanad hadits Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut, yaitu diriwayatkan oleh Ibnul Ja’d sebagaimana dalam Al-Ja’diyyat no. 3406 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 347 dari jalan ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, dari ‘Abdah bin Abi Lubabah, dari Syaqiq bin Salamah, sama dengan lafazh yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tapi ‘Ali bin Abi Thalib tidak disebutkan.

Adapun ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, yang ada di dalam sanad, adalah rawi yang dha’if maka hadits ini adalah mungkar karena menyelisihi riwayat para rawi yang tsiqah ‘terpercaya’ yang tidak menyebutkan lafazh ini.”

Maka sebagai kesimpulan, seluruh hadits, yang menjelaskan bahwa kumur-kumur dipisah dari menghirup air, adalah lemah.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1/398, “Adapun memisah (antara kumur-kumur dan menghirup air-pent.), tidak ada sama sekali hadits yang tsabit ‘kuat, sah’. Yang ada hanyalah hadits Thalhah bin Musharrif dan ia adalah (rawi yang) lemah.”

Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 1/192-193, “Dan tidaklah datang (keterangan tentang) memisah antara kumur-kumur dan menghirup air dalam hadits yang shahih sama sekali.”

Setelah membaca uraian lemahnya hadits yang menjelaskan disyariatkannya memisahkan antara kumur-kumur dan menghirup air, mungkin akan muncul pertanyaan di dalam benak, “Kalau cara memisah antara kumur-kumur dan menghirup air itu salah, lalu bagaimana cara yang benarnya?”

Jawabannya dari dua sisi:

Secara global , kami menetapkan bahwa berkumur-kumur dan menghirup air adalah menggabungkannya dengan cara mengambil air lalu digunakan untuk berkumur-kumur sekaligus menghirup air.

Secara rinci , dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam diterangkan tiga kaifiyah ‘cara’ dalam berkumur-kumur dan menghirup air.

  • Pertama ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaan dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali cidukan. Hal ini diterangkan dalam beberapa hadits, di antaranya hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا

“Maka beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan. Beliau mengerjakan itu sebanyak tiga kali.”

  • Kedua ,berkumur-kumur dan menghirup air secara bersamaansebanyak tiga kali dari satu kali cidukan air dengan satu telapak tangan. Cara ini, walaupun agak sulit diterapkan, tetapi memungkinkan dan bisa dilakukan, sebab kaifiyah ini telah diterangkan dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غُرْفَةٍ وَاحِدَةٍ

“Maka beliau berkumur-kumur dan (menghirup air lalu) mengeluarkannya sebanyak tiga kali dari satu cidukan.”

  • Ketiga ,berkumur-kumur tiga kali lalu menghirup air tiga kali dari satu kali cidukan dengan satu telapak tangan. Hal ini dijelaskan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا

“Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali.” (diriwayatkan olehAbu Daud, An-Nasa`idan lain-lain, dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Jami’ Ash-Shahih dan Al-Hafizh, dalam At-Talkhish , menyebutkan jalan-jalan yang banyak dari hadits ini)

Walaupun hadits ini mengandung ihtimal ‘kemungkinan’, tetapi zhahirnya menunjukkan kaifiyah tersendiri. Wallahu a’lam.

Baca Ikhtiyarat Ibnu Qudamah 1/158, Al-Mughny 1/170-171, dan Al-Majmu’ 1/397-398.

Lalai Dalam Menyempurnakan Wudhu

Lalai dalam menyempurnakan wudhu, sehingga menyebabkan ada bagian dari anggota wudhu (anggota badan dalam berwudhu) yang terluput dari basuhan air, adalah kesalahan besar, apalagi kalau yang terluput dari basuhan air itu adalah anggota yang merupakan rukun wudhu, maka wudhu dianggap batal. Dimaklumi bersama, bahwa anggota yang merupakan rukun wudhu adalah yang tertera dalam ayat 5 surah Al-Maidah,

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian berdiri hendak mengerjakan shalat, maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku, lalu usaplah kepala-kepala kalian dan cucilah kaki-kaki kalian sampai ke mata kaki.”

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan kewajiban dan keutamaan menyempurnakan wudhu.

Pertama ,hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengajar seseorang yang jelek shalatnya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

“Jika kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedua ,hadits Laqith bin Saburah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda kepadanya,

أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ

“Sempurnakanlah wudhu.”

(Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/52, Ahmad 4/32-33, ‘Abdurrazzaq no. 79, Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thahur no. 284, Ath-Thayalisy no. 171, Al-Bukhary dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 166, Abu Daud no. 141, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i 1/66,79, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/406-407, Ibnu Khuzaimah no. 150 168, Ibnu Hibban no. 1053, 1087, Al-Hakim 1/247-248 dan 4/123, Al-Baihaqy 1/50, 51, 76 dan 7/303, Ath-Thabarany 19/no. 281, dan Ibnu ‘Abdil Barr 18/223. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih )

Ketiga , hadits Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Aisyah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ

“Celakalah tumit-tumit dari api neraka.”

Sebab wurud (pengucapan) hadits adalah karena sebagian dari para shahabat yang berwudhu dan hanya mengusap di atas kakinya, maka Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menegur mereka dengan hadits di atas.

Keempat , hadits ‘Utsman bin ‘Affan, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَطَهَّرُ فَيُتِمُّ الطُّهُوْرَ الَّذِيْ كَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ فَيُصَلِّيْ هَذِهِ الصَّلَوَاتَ الْخَمْسَ إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَاتٍ لِمَا بَيْنَهُمَا

“Tidaklah seorang muslim berwudhu lalu ia menyempurnakan wudhu yang Allah tetapkan atasnya kemudian dia mengerjakan shalat lima waktu, kecuali ia menjadi kaffarah (penggugur dosa) di antara kelimanya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Kelima , hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذَُنُوْبَهُ

“Barangsiapa yang berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya kemudian melangkah untuk mengerjakan shalat wajib sehingga ia shalat wajib bersama orang-orang atau bersama jamaah atau di mesjid, maka Allah mengampuni untuk dosa-dosanya.”

Mencuci Anggota Wudhu Lebih Dari Tiga Kali

Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam mencuci anggota wudhu, mencontohkan beberapa kaifiyah.

Kadang beliau mencuci anggota wudhunya tiga-tiga kali,sebagaimana yang diterangkan dalam hadits yang sangat banyak, seperti hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Bukhary-Muslim dan hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim.

Kadang pula beliau mencuci anggota wudhunya dua-dua kali,sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu 2 kali 2 kali.”

Kadang beliau juga mencuci anggota wudhunya satu-satu kali,dan ini merupakan batasan wajibnya. Hal ini diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Bukhary,

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

“Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu satu kali satu kali.”

Selain itu, kadang beliau berselang-seling dalam mencucinya dengan cara mencuci sebagiannya tiga kali, sebagian lain dua dan satu kali, sebagaimana praktik wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam yang diperagakan oleh ‘Abdullah bin Zaid,

فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ وَجَهَهُ ثَلاَثُا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهُمَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رَجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.

“Maka beliau menuangkan air di atas telapak tangannya kemudian mencucinya tiga kali kemudian beliau memasukkan tangannya (ke dalam bejana) lalu mengeluarkannya kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mencuci wajahnya tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkan kemudian mencuci kedua tangannya sampai ke siku dua kali dua kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu mengeluarkannya kemudian mengusap kepalanya; menggerakkan kedua tangannya ke belakang dan mengedepankannya. Kemudian beliau mencuci kedua kakinya sampai ke mata kaki.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim, dan lafazh ini milik Muslim)

Ini tuntunan Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalam mencuci anggota wudhunya, tidak dinukil beliau mencuci anggota wudhunya lebih dari tiga kali, bahkan yang ada adalah larangan melebihi tiga kali sebagaimana yang diterangkan dalam hadits dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوْءِ فَأَرَاهُ ثَلاَثًا ثَلاَثُا فَقَالَ : هَذَا الْوُضُوْءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ

“Datang seorang A’raby kepada Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bertanya kepadanya tentang wudhu. Maka beliau memperlihatkan wudhu tiga-tiga kali lalu beliau berkata, ‘Inilah wudhu, siapa yang menambah di atas ini maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat zhalim.’.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 135, Ibnu Majah no. 422, An-Nasa`i no. 140, Ahmad 2/180, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 75, Ibnu Khuzaimah no. 174, Ath-Thahawy dalam Syarh Musykil Al-Âtsar 1/36 , Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/361 no. 329, dan Al-Baihaqy 1/79 dengan sanad yang hasan)

Para ulama menyebutkan bahwa dikatakan ia berbuat jelek karena meninggalkan yang lebih utama dan dikatakan melampaui batas karena melampaui batasan sunnahnya dan dikatakan berbuat zhalim karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Tapi, perlu diingat, bahwa larangan mencuci anggota wudhu lebih dari tiga kali ini berlaku kalau anggota wudhunya dengan tiga kali telah terbasuh sempurna dengan air, adapun seperti orang yang berada di terik matahari atau semisalnya kemudian tatkala dia membasuh anggota wudhunya tiga kali dan ternyata setelah itu masih ada bagian yang belum tersentuh oleh air maka di sini ia boleh menambah dan membasuh bagian yang belum tersentuh air tersebut berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas tentang kewajiban menyempurnakan wudhu.

Selain itu, para ulama berbeda pendapat tentang larangan melebihkan cucian dari tiga kali, apakah larangan itu bersifat makruh atau haram.

Imam Syafi’i dan mayoritas ulama syafi’iyah menganggap hal tersebut makruh karahah tanzih ‘makruh yang tidak sampai haram’.

Ibnul Mubarak berkata, “Saya tidak menjamin seseorang yang melebihkan wudhunya lebih dari tiga kali bahwa ia tidak berdosa.”

Berkata Ahmad dan Ishaq, “Tidak ada yang menambah lebih dari tiga kali kecuali orang yang tertimpa musibah/malapetaka.”

Imam Al-Bukhary berkata, “Dan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menerangkan bahwa kewajiban wudhu adalah satu-satu kali dan beliau juga berwudhu dua-dua kali dan tiga-tiga kali dan beliau tidak menambah di atas tiga kali, dan para ulama menganggap makruh berlebihan di dalamnya dan melewati perbuatan Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam .”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Itu juga adalah bid’ah dan kesesatan menurut kesepakatan kaum muslimin. Bukanlah sunnah dan bukan ketaatan dan qurbah ‘pendekatan diri’ dan siapa yang mengerjakannya di atas dasar itu sebagai ibadah dan ketaatan maka hendaknya dilarang dari hal tersebut. Kalau tidak mau, maka diberi ta’zir ‘hukuman pelajaran’ untuknya karena itu.”

Baca Al-Mughny 1/193-194, Shahih Al-Bukhary bersama Fathul Bary 1/232-234, Al-Majmu’ 1/466-468, Al-Fatawa 21/168, Nailul Authar 1/218, dan lain-lain.

Mengusap Kepala Tiga Kali

Mengusap kepala tiga kali juga termasuk kesalahan-kesalahan dalam wudhu karena hal tersebut tidak dibangun di atas landasan yang kuat.

Untuk mengetahui tidak kuatnya landasan pendapat ini simak uraian pendapat para ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama , disunnahkan mengusap kepala tiga kali. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya, pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, dan Daud Azh-Zhahiry. Dalilnya sebagai berikut:

  1. Hadits-hadits yang disebutkan di atas bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu tiga kali-tiga kali. Masuk di dalamnya tiga kali-tiga kali.
  2. Mereka juga berdalilkan dengan hadits ‘Utsman bin ‘Affan dalam sebagian riwayat dengan lafazh,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا

“Dan beliau mengusap kepalanya tiga kali.”

Pendapat kedua , tidak disyariatkan mengusap kepala kecuali satu kali. Ini merupakan pendapat jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Malik, Ahmad yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Salim bin ‘Abdillah, An-Nakha’iy, Mujahid, Thalhah bin Musharrif dan Al-Hakam bin ‘Utaibah.

Dalil akan kuatnya pendapat ini sangat banyak, di antaranya:

  • Hadits ‘Abdullah bin Zaid riwayat Bukhary-Muslim,

ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Kemudian beliau mengusap kepalanya mengedepankan dan mengebelakangkannya satu kali.”

  • Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mencontohkan wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ,

فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

“ Kemudian beliau mengusap kepalanya satu kali .”

Riwayat Abu Daud no. 111, Tirmidzy no. 48, An-Nasa`i no. 92, Ahmad 1/154, Al-Baihaqy 1/68, Al-Maqdasy no. 642, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shahih .

  • Hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , yang hadits-hadits tersebut menyebutkan seluruh anggota wudhu dicuci tiga kali kecuali kepala tidak disebutkan berapa kali diusap. Ini menunjukkan bahwa jumlah usapan kepala tidaklah sama dengan anggota yang lainnya.

Adapun dalil-dalil pendapat pertama di jawab sebagai berikut,

  1. Konteks hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mencuci anggota wudhunya tiga kali-tiga kali adalah riwayat yang global/mutlak dan riwayat global ini telah diterangkan secara rinci dalam hadits-hadits yang telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala satu kali.
  2. Seluruh hadits-hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepala lebih dari satu kali adalah hadits-hadits yang lemah.

Berikut penjelasan hadits-hadits lemah (yang dimaksud pada poin di atas) tersebut.

Hadits Pertama

Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ مَرَّتَيْنِ

“Dan beliau mengusap kepalanya dua kali.”

Hadits ini dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 11, Abu Daud no. 126, At-Tirmidzy no. 33, Ibnu Majah no. 438, Ahmad 6/359, Ath-Thabarany 24/no. 675, 681, 686, 687 dan dalam Al-Ausath no. 939, dan Al-Baihaqy 1/64. Semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dan dia ini adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa diterima haditsnya atau tidak. Dan saya lebih condong ke pendapat syeikh Muqbil rahimahullah yang menguatkan akan lemahnya riwayatnya, apalagi dalam hadits ini dia telah goncang dalam meriwayatkannya. Kegoncangan tersebut karena di dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Abu Daud no. 129, At-Tirmidzy no. 34, Ibnu Abi Syaibah no. 59, Al-Baihaqy 1/58-60, Ath-Thabarany 24/no. 689 dan dalam Al-Ausath no. 2388, 6100 dan dalam Ash-Shaghir no. 1167, dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 144, ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil menyebutkan mengusap kepala satu kali bukan dua kali. Maka ini memperkuat akan lemahnya hadits ini, Wallahu A’lam.

Hadits Kedua

Hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Berkata Imam Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 1/62, “Telah diriwayatkan dari riwayat-riwayat yang aneh dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pengulangan dalam mengusap kepala, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut -bersamaan dengan menyelisihi riwayat para huffazh ‘ahli hafalan’ yang tsiqah- bukanlah hujjah di kalangan Ahli Ma’rifat ‘para ulama’ walaupun sebagian Ashhab ‘orang-orang Syafi’iyah’ berhujjah dengannya.”

Berkata Abu Daud dalam As-Sunan 1/64 (cet. Dar Ibnu Hazm), “Hadits-hadits ‘Utsman yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali saja.”

Ini kesimpulan secara global tentang kelemahan riwayat mengusap kepala tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan.

Adapun penjelasan lemahnya secara rinci adalah sebagai berikut.

Penyebutan kepala diusap tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan datang dalam lima jalan:

Pertama , dari jalan ‘Abdurrahman bin Wardan, dari Abu Salamah, dari Humran, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 107, Al-Bazzar no. 418, Ad-Daraquthny 1/91, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 328, dan Al-Baihaqy 1/62.

‘Abdurrahman bin Wardan ini rawi yang lemah di tingkatan syawahid ‘pendukung’.

Kedua , dari jalan ‘Âmir bin Syaqiq bin Jamrah, dari Syaqiq bin Salamah, dari ‘Utsman.

Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 110, Ad-Daraquthny 1/91 dan Al-Baihaqy 1/63. Di dalam sanad hadits ini ada dua cacat:

  1. ‘Âmir bin Syaqiq adalah layyinul hadits ‘lembek haditsnya’ sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib .
  2. ‘Amir bin Syaqiq telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini karena, dalam Sunan Abu Daud , Musnad Al-Bazzar no. 393, dan Shahih Ibnu Khuzaimah , dia meriwayatkan hadits yang sama dan tidak menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali.

Ketiga , dari jalan Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Maryam, dari Ibnu Darah Maula ‘Utsman, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Ahmad 1/61, Ad-Daraquthny 1/91-92, Al-Baihaqy 1/62, Al-Maqdasy no. 364, dan Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no. 136. Ibnu Darah ini majhulul hal ‘tidak dikenal’ sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/146 (cet. Mu’assah Qurthubah), dan ada kemungkinan dia goncang dalam meriwayatkan hadits ini, sebab dalam riwayat Al-Bazzar no. 409 tidak disebutkan mengusap kepala tiga kali.

Kempat , dari jalan Ishaq bin Yahya, dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari ayahnya, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daraquthny dan Al-Baihaqy 1/63. Ishaq bin Yahya ini matrukul hadits ‘ditinggalkan haditsnya’.

Kelima , dari jalan Shalih bin Abdul Jabbar, dari Ibnu Bailamany, dari ayahnya, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthny 1/92 dan di dalam sanadnya ada tiga kelemahan:

  1. Shalih bin ‘Abdul Jabbar meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari Ibnul Bailamany. Demikian komentar Al-‘Uqaily.
  2. Ibnul Bailamany, namanya adalah Muhammad bin Abdurrahman. Ia ini rawi yang mungkarul hadits, bahwa dianggap Muttaham ‘dicurigai berdusta’, oleh Ibnu ‘Ady dan Ibnu Hibban.
  3. Ayah Ibnul Bailamany, yaitu ‘Abdurrahman, dha’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Lihat Mizanul I’tidal , Lisanul Mizan , Taqribut Tahdzib dan lain-lain.

Catatan

ada beberapa jalan lain yang disebutkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badru Al-Munir, tapi setelah saya merujuk keasalnya, ternyata tidak ada lafazh mengusap kepala tiga kali. Karena itu, kami tidak menyebutkannya.

Hadits Ketiga

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib.

Iman Az-Zaila’iy dalam kitabnya, Nashbur Rayah 1/32-33, menyebutkan bahwa ada tiga jalan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali. Berikut ini uraian jalan-jalan tersebut.

Pertama , dari jalan Abu Hanifah meriwayatkan dari Khalid bin ‘Alqamah, dari ‘Abdul Khair, dari Aly.

Diriwayatkan oleh Abu Hanifah sebagaimana dalam Musnad -nya, Abu Yusuf dalam Kitabul Âtsar no. 4,dan Al-Baihaqy 1/63.

Di dalamnya ada dua kelemahan:

  1. Abu Hanifah dha’if menurut jumhur ulama Al-Jarh Wat-Ta’dil. Baca Nasyru Ash-Shahifah karya Syaikhuna Muqbil rahimahullah.
  2. Imam Ad-Daraquthny menyebutkan bahwa Abu Hanifah telah menyelisihi sekelompok ulama Al-Huffadz ‘ahli hafalan’ seperti Zaidah bin Qudamah, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, Abu ‘Awanah, Syarik, Ja’far bin Harits, Harun bin Sa’d, Ja’far bin Muhammad, Hajjaj bin Artha`ah, Aban bin Taghlib, Aly bin Shalih, Hazim bin Ibrahim, Hasan bin Shalih dan Ja’far Al-Ahmar. Semua menyebutkan bahwa kepala hanya diusap satu kali, bukan tiga kali. Demikian dinukil Az-Zaila’iy dalam Nashbur Rayah dan lihat juga ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4\48-31.

Kedua , diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dalam Musnad -nya no. 736 dari jalan Abu Daud Ath-Thayalisi, dari Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, dari Abu Ishaq, dari Abu Hayyah bin Qais, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dan disebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya tiga kali.

Demikian riwayat Al-Bazzar. Tetapi riwayatnya ini diselisihi oleh para imam lainnya seperti Abu Daud dalam Sunan -nya, At-Tirmidzy, An-Nasa`i , Ibnu Majah no. 436, 456, Al-Bukhary dalam Al-Kuna hal. 24, Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad 1/127,157, Abu Ya’la, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 795-798, dan Al-Baihaqy 1/75.

Maka jelaslah dari sini ada kesalahan dalam riwayat Al-Bazzar. Tetapi, dari mana asal kesalahan ini, sedangkan seluruh rawi Al-Bazzar Muhtajun Bihim ‘dipakai berhujjah’?

Penulis lebih condong menitikberatkan kesalahan pada Al-Bazzar karena beliau memiliki kelemahan dari sisi hafalannya. Wallahu A’lam.

Ketiga , diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1336. Di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang saya tidak temukan biografinya, dan ada rawi yang bernama Sulaiman bin Abdurrahman dha’if dan rawi lain bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ubaidillah Al-Himsyi dha’if kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar.

Hadits Keempat

Hadits Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 5912 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضْ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثُا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلاَثًا وَغَسَلَ قَدَمَيْهِ ثَلاَثًا

“Sesungguhnya Rasulullah berwudhu maka beliau berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali dan mencuci wajahnya tiga kali dan mencuci kedua tangannya tiga kali mengusap kepalanya tiga kali dan mencuci kedua kakinya tiga kali.”

Di dalam sanadnya terdapat dua cacat:

  1. Guru Imam Ath-Thabarany, Muhammad bin Yahya bin Al-Mundzir Al-Qazzaz Al-Bashry, tidak disebutkan padanya jarh dan ta’dil.
  2. ‘Amir bin ‘Abdul Wahid Al-Ahwal disimpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib bahwa beliau adalah shaduqun yukhti`u, berarti ia menurut penilaian Al-Hafizh hanyalah dipakai sebagai pendukung. Kemudian tidak pantas ia bersendirian dari ‘Atha` bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits yang seperti ini karena ‘Atha` adalah seorang rawi yang terkenal mempunyai banyak murid lalu dimana murid-muridnya yang lain yang lebih senior? Kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini? Wallahu A’lam.

Dari uraian di atas jelaslah lemah pendapat bahwa kepala boleh diusap lebih dari satu kali. Berarti dengan hal ini nampak kuat pendapat bahwa kepala hanya diusap satu kali.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Syaikh Muqbil, dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Baca Al-Mughny 1/178-180, Al-Majmu’ 1/460-465, Al-Fatawa 21/125-127.

Mengusap Telinga Dengan Air Tersendiri

Dalam praktik wudhu di tengah masyarakat, kebanyakan dari mereka ketika mengusap kepala mengambil air kemudian setelah itu mengambil air lagi untuk mengusap telinga. Ini juga merupakan kesalahan dalam wudhu.

Kami tegaskan demikian karena dua alasan:

Alasan pertama , dalil-dalil yang dipakai tentang disyariatkannya mengambil air baru untuk telinga bersumber dari hadits yang lemah, yakni hadits ‘Abdullah bin Zaid,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الَّذِيْ أَخَذَ لِرَأْسِهِ

“Sesungguhnya ia melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu beliau mengambil untuk kedua telinganya air selain dari air yang dia ambil untuk kepalanya.”

Hadits dengan lafazh ini diiriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy dari jalan Al-Haitsam bin Kharijah dari Ibnu Wahb dari ‘Âmir bin Harits dari ‘Itban bin Waqi’ Al-Anshary dari ayahnya dari ‘Abdullah bin Zaid. Imam Al-Baihaqy juga menyebutkan bahwa ada rawi lain juga meriwayatkan hal yang sama dari Ibnu Wahb yaitu ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Imran bin Miqlash dan Harmalah bin Yahya.

Hadits ini syadz ‘lemah’ sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram . Kami menetapkan syadz-nya hadits ini karena tiga sebab:

Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Ibnu Wahb tetapi dengan lafazh,

وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ

“Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bukan sisa (air untuk mencuci) tangannya.”

  1. Imam Ibnu Turkumany, dalam Al-Jauhar An-Naqy , menyebutkan bahwa Ibnu Daqiq Al-Ied melihat dalam riwayat Ibnul Muqri’ dari Harmalah dari Ibnu Wahb bukan seperti lafazh Al-Baihaqy tetapi seperti lafazh Muslim.
  2. Enam orang rawi semua meriwayatkan dari Ibnu Wahb dan mereka menyebutkan hadits dengan lafazh riwayat Muslim. Enam rawi itu adalah: Harun bin Ma’ruf, Harun bin Sa’id, Abu Ath-Thahir, Hajjaj bin Ibrahim Al-Azraq, Ahmad bin ‘Abdirrahman bin Wahb, dan Syuraij bin Nu’man. Lihat riwayat mereka dalam Shahih Muslim no. 236, Musnad Abu ‘Awanah , dan Musnad Ahmad 4/41.

Nampaklah dari sini kesalahan riwayat Al-Baihaqy yang menetapkan bahwa telinga diusap dengan air tersendiri, sehingga riwayat ini tidak bisa dipakai berhujjah.

Alasan kedua , mengambil air tersendiri untuk kedua telinga adalah menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , sebab dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Kedua telinga itu bagian dari kepala.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 36)

Maksud hadits ini bahwa telinga itu bagian dari kepala dan hukumnya sama dengan kepala. Karena bagian dari kepala, maka kedua telinga diusap dengan air yang diambil untuk kepala.

Sebagai kesimpulan bahwa kedua telinga diusap dengan air lebih dari kepala setelah mengusap kepala dan tidak disyaratkan mengambil air tersendiri untuk telinga. Wallahu a’lam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan cara wudhu yang pasti dari beliau shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , dalam riwayat Ash-Shahihain (Bukhary-Muslim) dan lain-lainnya dari beberapa jalan, tidak ada padanya (keterangan) mengambil air baru bagi telinga.” Lihat Al-Fatawa 11/279.

Berkata Ibnul Qayyim, “Dan tidak tsabit ‘tetap/shahih’ dari beliau bahwa beliau mengambil untuk kedua (telinga)nya air baru.” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Pendapat yang kami kuatkan ini adalah pendapat Jumhur ulama.

Baca Al-Mughny 1/183-184, Al-Majmu’ 1/424-426, Nailul Authar 1/204 dan lain-lainnya.

Mengusap Leher dan Tengkuk

Ternasuk kesalahan dalam berwudhu adalah mengusap leher atau sebagian darinya seperti tengkuk. Kesalahan perkara tersebut adalah jelas karena tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Yang ada hanyalah hadits-hadits yang lemah ataupun palsu, di antaranya:

Hadits Laits bin Abi Sulaim dari Thalhah bin Musharrif, dari ayahnya, dari kakeknya,

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ رَأْسَهُ حَتَّى بَلَغَ القَذَالَ وَمَا يَلِيْهِ مِنْ مُقَدَّمِ الْعُنُقِ

“ Sesungguhnya beliau melihat Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam mengusap kepalanya hingga ke belakang kepala (tengkuk) dan yang setelahnya dari permulaan batang leher .”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/481, Abu Daud no. 132, Al-Baihaqy 1/60, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’an y Al-Âtsar 1/30, Ath-Thabarany 19/180/407, dan Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad 6/169. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Laits bin Abi Sulaim dan ia adalah seorang rawi yang lemah. Juga riwayat Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya ada kelemahan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan memisah antara kumur-kumur dan menghirup air.

Mungkin karena itulah Imam An-Nawawy, dalam Al-Majmu’ 1/488, berkata , “ Ia adalah hadits yang lemah menurut kesepakatan (para ulama-pent.) .”

Demikian pula hadits yang berbunyi,

مَسَحُ الرَّقَبَةِ أَمَانٌ مِنَ الْغُلِّ

“ Mengusap leher adalah pengaman dari Al-Ghill ‘ dengki, iri hati, benci ’ .”

Juga hadits yang berbunyi,

مَنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عُنُقَهُ لَمْ يُغَلَّ بِالْأَغْلاَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“ Siapa yang berwudhu dan mengusap lehernya, ia tidak akan dibelenggu dengan (rantai) belengguan hari kiamat .”

Kedua hadits ini adalah hadits palsu sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 69 dan 744.

Berkata Imam An-Nawawy , “ Tidak ada sama sekali (hadits) yang shahih dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dalamnya (yakni dalam masalah mengusap leher/tengkuk-pent.) .”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 21/127-128, “Tidak benar dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau mengusap lehernya dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan hal tersebut dari beliau dalam hadits yang shahih. Bahkan hadits-hadits shahih, yang di dalamnya ada (penjelasan) sifat wudhu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , (menerangkan bahwa) beliau tidak mengusap lehernya. Karena itulah, hal tersebut tidak dianggap sunnah oleh Jumhur Ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi ’ iy dalam zhahir madzhab mereka …, dan siapa yang meninggalkan mengusap leher, maka wudhunya adalah benar menurut kesepakatan para ulama .”

Berkata Ibnul Qayyim, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari beliau tentang mengusap leher .” Lihat Zadul Ma’ad 1/195.

Baca Al-Majmu’ 1/488 dan Nailul Authar 1/206-207.

Berdoa Setiap Kali Mencuci Anggota Wudhu

Tidak jarang kita melihat ada orang yang berwudhu, ketika berkumur-kumur, membaca,

اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا

“Ya Allah berilah saya minum dari telaga Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”

Lalu ketika mencuci wajah, dia membaca ,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ

“Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah menjadi hitam.”

Kemudian ketika mencuci tangan, dia membaca ,

اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ

“Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”

Selanjutnya ketika mengusap kepala, dia membaca ,

اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ

“Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

Lalu ketika mengusap telinga, dia membaca ,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

“Ya Allah, jadikanlah saya dari orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaiknya.”

Terakhir ketika mencuci kaki, dia membaca ,

اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ

“Ya Allah, kokohkanlah kedua kakiku di atas jembatan (hari kiamat).”

Doa ini banyak disebutkan oleh orang-orang belakangan di kalangan Syafi’iyah, dan ini adalah perkara yang aneh karena tidak ada sama sekali landasan dalilnya. Bahkan Imam Besar ulama Syafi’iyah, yang dikenal dengan nama Imam An-Nawawy, menegaskan bahwa doa ini tidak ada asalnya dan tidak pernah disebutkan oleh orang-orang terdahulu di kalangan Syafi’iyah.

Maka, dengan ini, tidak diragukan bahwa doa ini termasuk bid’ah sesat dalam wudhu yang harus ditinggalkan.

Lihat Al-Majmu’ 1/487-489.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim .

1 comments:

Anonymous said...
perlukah mengulangi wuduk sekiranya selepas berwuduk tangan kita terkena najis seperti tahi cicak ataupun mazi...adakah mencukupi sekadar basuh tangan atau perlu mengulangi wuduk

Post a Comment

Panduan Praktis Tatacara Wuduk

Panduan Praktis Tata Cara Wudhu

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Kedudukan wudhu dalam sholat

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »

“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],


عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],

1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu[9]

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu

* Islam,
* Berakal,
* Tamyiz[11],
* Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
* Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
* Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
* Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.

Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu

* Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,


« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]

* Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]

* Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,


كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ
وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].

* Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,


إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].

* Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,


وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,


« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].

* Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,


وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.

(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,


« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].

* Muwalah

Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu


أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu

* Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].

* Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].

* Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,


« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].

* Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,


« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].

* Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,


أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,


عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,


ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,


وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا
Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].

* Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,


أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].

* Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,


« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,


اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].

* Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,


« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab

Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H

Penulis: Aditya Budiman

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.

[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.

[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.

[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.

[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.

[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.

[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.

[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.

[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I

[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]

[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].

[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.

[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.

[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.

[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.

[21] HR. Muslim no. 237.

[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.

[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.

[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.

[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.

[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]

[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.

[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.

[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.

[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.

[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.

[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.

[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.

[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]

[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.

[42] HR. Mulsim no. 243.

[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”.

[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.

[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.

[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.

[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.

[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.

[52] HR. Bukhori 158.

[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.

[54] HR. Bukhori 186.

[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.

[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.

[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[59] HR. Muslim no. 234.

[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.

[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]

[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.

0 comments:

Post a Comment


 

Comments

Popular posts from this blog