Setiap Bid’ah Sesat dan Setiap Kesesatan di Neraka..!!

new1a

Karya:
‘Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Sahaibaniy

Sesungguhnya, salah satu ujian terbesar ummat Islam dewasa ini adalah permasalahan “Bid’ah” (yaitu ungkapan dari “suatu jalan/cara dalam agama yang diada-adakan (tanpa dalil) yang menyerupai syari’ah yang bertujuan dengan melakukannya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala”, lihat Mukhtashar Al-I’tisham hal.7, -pent.), bahkan hal ini telah menyebar ke berbagai negara Islam. Jarang sekali kita jumpai suatu tempat yang di situ terlepas dari masalah bid’ah dan sangat sedikit manusia yang selamat darinya. Perkara bid’ah merupakan masalah yang besar, sangat berbahaya, dan termasuk “pos”nya kekufuran. Pelaku bid’ah telah mencabut hukum Allah, karena itu dia tidak mau berusaha untuk taubat (tidak diberi pertolongan untuk bertaubat).

Berkata ‘Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya perkara-perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah-bid’ah.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra 4/316)
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy: “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, pelaku maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya (masih diharapkan untuk bertaubat), sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid’ahannya (sulit diharapkan untuk bertaubat).” (Dikeluarkan oleh Al-Laalikaa`iy 1/133 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/26 dan Al-Baghawiy dalam Syarhussunnah 1/216)

Pelaku bid’ah -apalagi ahlul bid’ah- sulit untuk bertaubat dikarenakan ia mengira perbuatannya baik, dan dengan perbuatan bid’ahnya itu dia bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh karena itu pelaku bid’ah tidak pernah berfikir untuk bertaubat kepada Allah dari perbuatannya bahkan dengan kebid’ahannya tersebut ia mengharapkan pahala. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَناً
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaannya itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)?” (Faathir:8)

Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat, ia merasa sedikit amalannya dan jelek perbuatannya, sehingga jika datang nasehat padanya segera ia akan bertaubat -bi`idznillaah-. Akan tetapi keduanya, pelaku bid’ah dan maksiat, apabila mau bertaubat, sesungguhnya Allah Maha Mengampuni dosa dan Menerima Taubat hamba-Nya dan memaafkan kejelekan-kejelekannya. Kita minta kepada Allah subhanahu wa ta’ala keselamatan, ‘afiyah, taufiq dan hidayah. Amin!

Dalil-dalil Bahwasanya Semua Bid’ah Adalah Sayyi`ah (Tercela), Tidak Ada Hasan (Kebaikan) Sedikitpun Padanya

Dalil ke-1: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Maa`idah:3).

Berkata Al-Imam Malik bin Anas: “Barangsiapa mengada-adakan di dalam Islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” Maka apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, maka tidak menjadi agama pula pada hari ini.” (Al-I’tisham, Al-Imam Asy-Syathibiy 1/64)

Berkata Asy-Syaukaniy: “Maka, sungguh apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama-Nya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama menurut keyakinan mereka, berarti belum sempurna agama ini kecuali dengan pendapat mereka, ini berarti mereka telah menolak Al-Qur`an. Dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama??

Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadilah ayat yang mulia ini (Al-Maa`idah:3) sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ahlur ra`yi (orang yang mengandalkan dan mendahulukan akalnya daripada wahyu) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka.” (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatil Ijtihaad wat Taqliid hal.38)

Dalil ke-2: Dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khuthbahnya: “Ammaa ba’d, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no.867)

Dalil ke-3: Dari ‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang mendalam, yang karenanya berlinanganlah air mata (karena terharu) dan membuat hati kami bergetar. Seseorang dari kami berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudahku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no.4607, At-Tirmidziy no.2676 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.2546)

Berkata Ibnu Rajab: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)” merupakan kata (qa’idah) yang menyeluruh dan tidak ada pengecualian sedikitpun (dengan mengatakan, “Ada Bid’ah Hasanah”, pent.) dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih hal.549)

Berkata Ibnu Hajar: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)” merupakan qa’idah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafazh maupun maknanya. Adapun lafazhnya, seolah-olah mengatakan: “Ini hukumnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”

Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syari’at, karena semua syari’at adalah petunjuk (bukan kesesatan, pent.), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka berlakulah “semua bid’ah adalah sesat” baik secara lafazh maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baary 13/254)

Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ” Kullu bid’atin= semua bid’ah” maknanya menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat, mencakup dan umum pula yaitu lafazh ” Kullu=semua”. Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan kata di atas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni (Kullu bid’atin dholaalah). Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk (kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (Kullu bid’atin dholaalah =semua bid’ah adalah sesat). (Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khathiiri Al-Ibtida’ oleh Ibnu ‘Utsaimin hal.13)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat dan bahwasanya tidak ada pada bid’ah-bid’ah tersebut sesuatu yang dianggap baik sebagaimana yang disangka oleh sebagian ulama. Bahkan seluruh bid’ah adalah sesat, maka barangsiapa yang menyangka bahwasanya ada suatu bid’ah dari bid’ah-bid’ah yang ada sebagai suatu kebaikan, maka hal itu (bid’ah yang dia sangka sebagai kebaikan) tidak lepas dari salah satu dari dua perkara, yang pertama bahwasanya hal itu bukan bid’ah dan ia menyangkanya sebagai bid’ah atau kemungkinan yang kedua bahwasanya hal itu bukanlah kebaikan dan ia menyangkanya kebaikan. Adapun adanya bid’ah dan kebaikan (berbarengan/menyatu pada suatu keadaan yaitu menganggap adanya bid’ah hasanah) maka ini adalah perkara yang mustahil, karena bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)”. (At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.73)

Dalil ke-4: Dari ‘Aisyah berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami ini, apa-apa yang tidak ada darinya (tidak kami perintahkan, pent.) maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhariy no.2697 dan Muslim no.1718)

Berkata Asy-Syaukaniy: “Hadits ini termasuk qa’idah-qa’idah agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil ‘aqli (logika) maupun naqli (dari Al-Qur`an & As-Sunnah, pent.). (Nailul Authaar 2/69)

Dalil ke-5: Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, bahwasanya ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah dan sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, ketahuilah sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada di neraka.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ hal.13 dan Al-Laalikaa`iy hadits ke 100 (1/84))

Dalil ke-6: Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu: “Ittiba’lah (mengikutlah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka sungguh telah cukup bagi kalian dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah hadits no.175 (1/327, 328) dan Al-Laalikaa`iy hadits no.104 (1/86))

Dalil ke-7: Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya sebagai kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah hadits no.205 (1/339) dan Al-Laalikaa`iy hadits no.126 (1/92))
Penutup dan Kesimpulan
Setelah disebutkan dalil-dalil bahwa bid’ah itu seluruhnya tercela dan jahat, nampaklah dengan jelas bahwa pendapat adanya bid’ah hasanah adalah pendapat yang bathil, menyelisihi nash-nash dan atsar (riwayat-riwayat) yang ada.

Pada penutup ini akan dipaparkan enam point dari sepuluh point (yang ada dalam kitab Al-Luma’ fir Raddi ‘alal Muhsinil Bida’) yang hanya dengan mengamati salah satu dari keseluruhannya saja sudah cukup untuk menjelaskan kebathilan pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah -Insya Allah-. Maka bagaimana jika seluruhnya terkumpul, apalagi kalau disertai dalil-dalil yang telah disebutkan terdahulu. Oleh karenanya tidak akan tersisa satu syubhatpun bagi ahlul bid’ah, tidak juga satu ucapanpun. Maka perhatikanlah point-point tersebut dengan berurutan, dari pertama sampai yang berikutnya.

Pertama: Bahwa dalil-dalil yang mencela bid’ah sifatnya adalah umum, tidak terkhususkan, bersamaan dengan itu, jumlahnya banyak dan tidak ada perkecualian sama sekali. Tidak ada dari dalil-dalil tersebut yang menentukan bahwa di antara bid’ah-bid’ah itu ada yang sifatnya sebagai Al-Huda (petunjuk) dan tidak pernah datang riwayat yang mengatakan: “Bahwa semua bid’ah sesat kecuali itu dan itu”, serta tidak ada sedikitpun nash-nash yang bermakna seperti itu. Maka jika di sana ada bid’ah yang menurut pandangan syari’ah adalah “hasanah”, niscaya akan disebutkan oleh ayat atau hadits, akan tetapi itu tidak pernah didapati. Hal ini menunjukkan bahwasanya dalil-dalil yang banyak jumlahnya tersebut harus dipahami menurut zhahir dari nash-nash itu yang sifatnya umum dan menyeluruh untuk semua bid’ah yang tidak seorangpun bisa terlepas (menghindar) dari ketentuan ini. (Lihat Al-I’tisham 1/187)

Kedua: Bahwasanya telah “terkonsep” dalam qa’idah Ushul ‘ilmiyyah (Ushul Fiqh, pent.), bahwa setiap qa’idah yang menyeluruh atau dalil-dalil syar’i yang menyeluruh bila terulang dalam berbagai keadaan, di segala waktu dan suasananya yang berbeda, kemudian bersamaan itu tidak diiringi dengan sesuatu yang mengkhususkan atau mengikat (mengecualikan, pent.), maka ini adalah petunjuk atas tepatnya, bahwa dalil-dalil yang ada berlaku menurut ketentuan zhahir lafazhnya yang mutlak dan umum. Dari sisi inilah datangnya hadits-hadits yang mencela dan mengingatkan dari bid’ah (yaitu mutlak, umum dan menyeluruh, pent.).

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang dari mimbarnya di hadapan khalayak ramai di antara muslimin di berbagai waktu dan suasana yang berbeda-beda bahwasanya: “Seluruh bid’ah itu sesat”, tidak pernah datang dalam ayat atau hadits yang mengecualikan atau mengkhususkan, serta tidak juga datang dalil yang bisa dipahami menyelisihi zhahir nash-nash yang ada yang sifatnya umum dan menyeluruh. Maka ini adalah bukti yang jelas bahwa nash tersebut berlaku menurut keumumannya tanpa terkecuali.

Ketiga: Salafush Shalih dari kalangan shahabat, tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya telah sepakat (ijma’) atas pencelaan terhadap bid’ah, menghinakannya dan menjauhkannya serta menjauhi siapa saja yang teracuni dengan bid’ah tersebut, juga tidak terjadi pada mereka itu sikap berpangku tangan terhadap perkara ini, tidak pula ada pengecualian dari mereka tentang bahaya dan jeleknya bid’ah. Maka sikap ini -sepanjang pengamatan- merupakan ijma’ ulama yang telah baku yang menunjukkan bahwa bid’ah itu seluruhnya tercela, tidak ada kebaikan padanya sedikitpun. (Al-I’tisham 1/188)

Keempat: Bahwasanya bid’ah hanya bergantung pada bid’ah itu sendiri (sama sekali tidak tergantung/bersumber pada syari’ah, pent.). Karena bid’ah merupakan sikap menyaingi dan membuang syari’at, maka segala sesuatu yang keadaannya seperti itu mustahil untuk dipilah-pilah menjadi baik dan jelek (karena semua bid’ah adalah jelek, pent.), atau tidak mungkin di sana ada sebagian yang terpuji dan sebagiannya tidak terpuji, karena tidak dibenarkan baik secara dalil ‘aqli maupun naqli untuk menganggap baik suatu perkara yang menyelisihi syari’ah.

Kelima: Bahwasanya pernyataan bid’ah hasanah akan membuka pintu kebid’ahan untuk orang masuk ke dalamnya, kemudian tidak mungkin membantah apapun bid’ahnya, karena setiap pelaku akan mengaku bahwa amalan bid’ahnya “hasanah”. Maka orang-orang Rafidhah akan mengatakan tentang bid’ahnya dengan “bid’ah hasanah”, demikian pula (pengikut) Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij dan selain mereka (dari kalangan ahlul bid’ah). Sebaliknya wajib atas kita untuk membantah mereka dengan hadits (Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat).

Keenam: Apa patokan dalam menyatakan baiknya bid’ah? Dan siapa yang ucapan atau pendapatnya dipakai rujukan dalam hal ini?
Bila dikatakan: “Patokannya adalah harus sesuai dengan syari’ah”. Kita katakan: “Segala yang sesuai dengan syari’ah sama sekali bukan bid’ah”. Kalau dikatakan: “Rujukannya adalah akal”. Kita jawab: “Akal itu berbeda-beda dan berlainan, maka akal yang mana yang digunakan sebagai rujukan itu? Dan mana yang akan diterima hukumnya? Karena semua pelaku bid’ah akan menyangka bahwa amalan bid’ahnya hasanah (baik) menurut akal?!!!

Tulisan ini sekaligus sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan “bid’ah hasanah”. Wallaahu a’lamu bish Shawaab.

Diringkas dari kitab Al-Luma’ fir Raddi ‘alal Muhsinil Bida’ karya ‘Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Sahaibaniy, dengan sedikit perubahan dan tambahan.
Sumber:
http://ashthy.wordpress.com/

Comments

Popular posts from this blog