Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah dan Asma’ Wash-Shifat
Tauhid secara bahasa arab
merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha
di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Ibnu
Sholeh Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita
jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).
Secara istilah syar’i, makna
tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang
benar dengan segala kekhususannya (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Dari
makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa sesungguh banyak hal yang
dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi mereka menyembah Malaikat,
menyembah para Nabi, menyembah orang-orang shalih atau bahkan makhluk
Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap
dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga
sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi 3 aspek:
Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Nama dan Sifat Allah
(Asma’ Wash-Shifat).
Yang dimaksud dengan Tauhid
Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan penyataan yang
tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan, Raja, Pencipta semua makhluk.
Dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Lihat Al
Jadid Syarh Kitab Tauhid).
Meyakini rububiyah yaitu
meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta,
misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah,
Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan
hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al
Qur’an:
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik,
tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir,
sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah
kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:
“Sungguh
jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa
yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (Az Zukhruf: 87)
Oleh karena itu kita dapati
ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama
Abdullah,yang artinya hamba Allah. Padahal Abdullah diberi nama
demikian, Rasulullah tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis yang atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang
komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang
demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir
jahiliyah” (Lihat Firqotun Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir
jahiliyyah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu,
lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa
mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan
dari kaum kafirin? Jawabannya, meski orang kafir jahilyyah beribadah
kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah
mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir
maupun batin (Lihat Al Jadid Syarh Kitab Tauhid). Dalilnya:
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah
semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang
telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang
dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa,
bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta,
bertawakkal, istighotsah dan isti’anah.
Maka seorang yang bertauhid
uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan
tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain
beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah
kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga
inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid
uluhiyyah. Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian
tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini
adalah misi dakwah para rasul, dan alas an diturunkannya kitab-kitab
suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah
agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada
selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah).
Maka perhatikanlah, sungguh aneh
jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan
syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah.
Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan
tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir
tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak
perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Nama dan Sifat
Allah adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dengan nama dan sifat yang
telah Ia tetapkan bagi dirinya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam. Bertauhid nama dalam dan sifat Allah ialah
dengan cara menetapkan nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi dirinya
dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari dirinya, dengan
tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil
Ushul). Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (Al A’raf: 180)
Tahrif adalah
memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makna zhahirnya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata
‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah
mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana
sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka
berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah
menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak
serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu
menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha
menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya: “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu
tidak mau menetapkan pengertian sifat-sifat Allah, misalnya sebagian
orang menolak bahwa Allah bersemayam (istiwa) di atas Arsy kemudian
berkata ‘kita serahkan makna istiwa kepada Allah’. Pemahaman ini
tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam
Qur’an dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah
mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita
berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap perbuatan Allah
mengabarkan sifat-sifatNya adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami
oleh hamba-Nya.
Pentingnya mempelajari tauhid
Banyak orang yang mengaku
Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid,
bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang yang dapat
menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang
mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan
nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari.
Di sisi lain seseorang mengaku
menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia
tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah,
tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang
akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus
dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah.
Maka sangat penting dan urgen
bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu
yang paling utama. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu
tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya.
Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu
tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tentang asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Lihat Syarh Ushulil Iman).
Tauhid Rububiyah Dan Pengakuan Orang-Orang Musyrik Terhadapnya
Oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan
Tauhid
adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, ikhlas beribadah
kepadaNya, serta menetapkan bagiNya Nama-nama dan Sifat-sifatNya.
Dengan demikian, tauhid ada tiga macam: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah serta Tauhid Asma’ wa Sifat.
Setiap macam dari ketiga macam tauhid itu memiliki makna yang harus
dijelaskan agar menjadi terang perbedaan antara ketiganya.
Makna Tauhid Rububiyah
Yaitu
mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatanNya,
dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu …” [Az-Zumar: 62]
Bahwasanya Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, …” [Hud : 6]
Dan bahwasanya Dia adalah
Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan
menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala
sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang
mematikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau
masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam
malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rizki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” [Ali Imran: 26-27]
Allah telah menafikan sekutu
atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya
sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Inilah ciptaan
Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan
oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah …” [Luqman: 11]
“Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rizki jika Allah menahan rizkiNya?” [Al-Mulk: 21]
Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-Fatihah: 2]
“Sesungguhnya Tuhan kamu
ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang
yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci
Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-A'raf: 54]
Allah menciptakan semua
makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan
orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui
keesaan rububiyah-Nya.
“Katakanlah:
“Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya `Arsy yang
besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka
apakah kamu tidak bertakwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di tanganNya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi
tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah:
“(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mu'minun: 86-89]
Jadi, jenis tauhid ini diakui
semua orang. Tidak ada umat mana pun yang menyangkalnya. Bahkan hati
manusia sudah difitrahkan untuk mengakuiNya, melebihi fitrah pengakuan
terhadap yang lain-Nya. Sebagaimana perkataan para rasul yang
difirmankan Allah:
“Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” [Ibrahim: 10]
Adapun orang yang paling dikenal
pengingkarannya adalah Fir’aun. Namun demikian di hatinya masih tetap
meyakiniNya. Sebagaimana perkataan Musa alaihis salam kepadanya:
“Musa
menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang
menurunkan mu`jizat-mu`jizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit
dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira
kamu, hai Fir`aun, seorang yang akan binasa”. [Al-Isra': 102]
Ia juga menceritakan tentang Fir’aun dan kaumnya:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” [An-Naml: 14]
Begitu pula orang-orang yang
mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya menampakkan
keingkaran karena ke-sombongannya. Akan tetapi pada hakikatnya, secara
diam-diam batin mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang
ada tanpa Pencipta, dan tidak ada satu benda pun kecuali ada yang
membuatnya, dan tidak ada pengaruh apa pun kecuali pasti ada yang
mempengaruhinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan
(diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan
bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka
katakan).” [Ath-Thur: 35-36]
Perhatikanlah alam semesta ini,
baik yang di atas maupun yang di bawah dengan segala bagian-bagiannya,
anda pasti mendapati semua itu menunjukkan kepada Pembuat, Pencipta
dan Pemiliknya. Maka mengingkari dalam akal dan hati terhadap pencipta
semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan
mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.
Adapun pengingkaran adanya Tuhan
oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan
penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang
seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak
orang lain untuk menertawakan dirinya.
[Disalin dari kitab At-Tauhid
Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tauhid 1, Penulis
Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus
Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq]
______________
Tauhid Uluhiyyah
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Artinya, mengesakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara
itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf
(takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan),
bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta
pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan
segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla
dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini
dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan
ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut
dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun
Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1]
Al-Ilah artinya al-Ma’luh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia. Yang Mahapemurah lagi Maha-penyayang” [Al-Baqarah: 163]
Berkata Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah (wafat th. 1376 H): “Bahwasanya
Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama,
Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang
sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak
ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah.
Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk
diibadahi. Tidak boleh Dia disekutukan dengan seorang pun dari
makhluk-Nya[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Allah
menyatakan bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada yang berhak disembah
dengan benar selain-Nya, Yang Maha-perkasa lagi Mahabijaksana” [Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai Lata, Uzza dan Manat yang disebut sebagai tuhan, namun tidak diberi hak Uluhiyah:
“Itu
tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapakmu
mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)nya…”[An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.
“(Kuasa
Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah
Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah,
itulah yang bathil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi
lagi Mahabesar” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'alaihis Sallam yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
“Hai
kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu
tidak menyembah selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang
kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentang nama-nama itu…”[Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu para Rasul ‘Alaihimus Salam berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja[3]
“Sembahlah Allah olehmu
sekalian, sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq selain
daripada-Nya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)” [ Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja
mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan
kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Pengambilan tuhan-tuhan yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan dua bukti.
Pertama.
Tuhan-tuhan
yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyah sedikit pun,
karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat
menarik kemanfaatan, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat
menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Mereka
mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang
tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri
diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari
dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan
(juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula)
membangkitkan.” [Al-Fur-qaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka
tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi,
dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit.
Dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi
pembantu bagi-Nya.’ Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah,
melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat..” [Saba’: 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apakah
mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tidak
dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu tidak
mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada
dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi
pertolongan.” [Al-A’raaf: 191-192]
Apabila keadaan tuhan-tuhan itu
demikian, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila
menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
Kedua:
Sebenarnya
orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan segala
sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dia-lah yang dapat melindungi
dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan
Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyah
(ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyah mengharuskan adanya konsekuensi
untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyah (beribadah hanya kepada Allah
saja).
“Hai manusia, sembahlah
Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertaqwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu
dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki
untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui”[Al-Baqarah: 21-22]
[Disalin dari kitab Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama
Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1].
Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha’,
Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fathul Majiid Syarh
Kitabit Tauhiid (hal. 39-40) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad al-Furaiyan.
[2]. Lihat
Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan Aqidatut Tauhiid
(hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fathul Majiid Syarah Kitabut
Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[3]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 63, cet. Mak-tabah al-Ma’arif , 1420 H).
Tauhid Al-Asma’ Wash-Shifat
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa
yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun
Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala
aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.
Al-Walid bin Muslim pernah
bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’ad
dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat
Allah, mereka semua menjawab:
“Perlakukanlah
(ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah
kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu).”[1]
Imam Asy-Syafi’ Rahimahullah berkata:
“Aku
beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai
dengan apa yang diinginkan-Nya dan aku beriman kepada Rasulullah dan
kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang
dimaksud oleh Rasulullah"[2]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Manhaj
Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mereka mengimani Tauhid al-Asma’
wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas
diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam
untuk-Nya, tanpa tahrif[3] dan ta’thil[4] serta tanpa takyif[5] dan
tamtsil[6]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil,
menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat
Allah dengan makhluk-Nya”
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Maha melihat" [Asy-Syuura':11]
Lafazh ayat : “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat : “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan/mengingkari Sifat-Sifat Allah.
‘Itiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:
Pertama.
Bahwasanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat
kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan
lainnya.
Kedua.
Allah
mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit
pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai
Sifat-Sifat Allah.[7]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak
menyelewengkan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan yang
semestinya, tidak mengingkari tentang Asma’ (Nama-Nama) dan
ayat-ayatNya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan sesuatu apapun
juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang
sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat diqiaskan
dengan makhluk-Nya.
Yang demikian itu dikarenakan
hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang lebih tahu akan Diri-Nya dan
selain Diri-Nya. Dialah yang lebih benar firman-Nya, dan lebih baik
Kalam-Nya daripada seluruh makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya adalah
orang-orang yang benar, jujur, dan juga yang dibenarkan sabdanya.
Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan terhadap Allah Azza wa
Jalla apa yang tidak mereka ketahui, karena itu Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Mahasuci
Rabb-mu, yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah
Rabb sekalian alam."[Ash-Shaffat: 180-182]
Allah Jalla Jalaluhu dalam ayat
ini mensucikan diri-Nya, dari apa yang disifatkan untuk-Nya oleh
penentang-penentang para Rasul-Nya. Kemudian Allah Azza wa jalla
melimpahkan salam sejahtera kepada para Rasul, karena bersihnya
perkataan mereka dari hal-hal yang mengurangi dan menodai keagungan
Sifat Allah.[8]
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
menuturkan Sifat dan Asma’Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat
(menolak dan menetapkan)[9] Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak
menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah
jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang
Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin[10]
[Disalin dari kitab Syarah
Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama
Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1].
Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah,
al-Laalikai (no. 930). Lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I,
1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Hamd bin Abdil Muhsin
at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-Uluw lil Aliyil Ghaffar (hal. 142 no.
134). Sanadnya shahih.
[2]. Lihat Lum¡’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-Utsaimin (hal. 36).
[3].
Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah
maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[4].
Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau
mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan
antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau
menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari
al-Qur’an atau hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya
yang terkandung dalam nash tersebut.
[5].
Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau
mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?”. Atau menentukan bahwa
Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah
bersemayam?” Dan yang sepertinya, karena berbicara tentang sifat sama
juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla mempunyai
Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah Azza wa
Jalla yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat
maknanya.
[6]. Tamtsil sama
dengan Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Azza
wa Jalla dengan makhluk-Nya. Lihat Syarah Aqidah al-Wasithiyah
(I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Aqidah
al-Wasithiyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, Tahqiq
Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihat al-Lathifah ala Mahtawat alaihil Aqidah
al-Wasithiyah (hal 15-18) oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di, tahqiq Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah
an Ma’anil Wasithiyah oleh Syaikh Abdul Aziz as-Salman.
[7]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111, 523), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
[8]. Lihat at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 15-16.
[9].
Maksudnya, Allah memadukan kedua hal ini ketika menjelaskan
Sifat-Sifat-Nya dalam al-Qur-an. Tidak hanya menggunakan Nafyu saja atau
Itsbat saja.
Nafyu (penolakan)
dalam al-Qur’an secara garis besarnya menolak adanya kesamaan atau
keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat maupun
sifat, serta menolak adanya sifat tercela dan tidak sempurna bagi
Allah. Dan nafyu bukanlah semata-mata menolak, tetapi penolakan yang
di dalamnya terkandung suatu penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah,
misalnya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah tidak mengantuk dan
tidak tidur, maka ini menunjukkan sifat hidup yang sempurna bagi
Allah.
Itsbat (penetapan), yaitu
menetapkan Sifat Allah yang mujmal (global), seperti pujian dan
kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dan juga menetapkan Sifat-Sifat
Allah yang rinci seperti ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, hikmah-Nya,
rahmat-Nya dan yang seperti itu. (Lihat Syarh al-Aqiidah
al-Wasithiyyah oleh Khalil Hirras, tahqiq Alwiy as-Saqqaf, hal. 76-78).
[10]. Lihat QS. An-Nisaa¡’ 69 dan at-Tanbiihaat al-Lathiifah hal. 19-20.
Comments
Post a Comment